***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 148

Kui Hok Boan meratap! Laki-laki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tidak akan mampu menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.

Kim Hong Liu-nio menoleh dan tersenyum mengejek,
“Orang she Kui, engkau hendak membela mereka? Majulah!”

“Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami...”

Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak memperdulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.

“Plakk!” Sebuah tangan menangkis tamparannya.

“Aih, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini menarik sekali, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andaikata diberitahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku.”

Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh kedua orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sutenya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.

“Hee, Kui-sicu, mana buronan-buronan itu?” begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. “Ah, kiranya paduka sudah mendahului ke sini, pangeran?” Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, “Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tidak perlu mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!”

Melihat munculnya sahabatnya ini, legalah hati Kui Hok Boan.
“Wah, celaka, Kwan-ciangkun, kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri semalam!”

“Ahhh...?” Kwan-ciangkun berseru kaget.

“Ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!” kata Han Houw.

“Orang she Kui, kemana larinya mereka?”

Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan.

“Mereka... saya kemarin bicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa mereka pasti melarikan diri ke utara.”

“Kalau lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!” bantah Kwan-ciangkun.

“Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Kenapa engkau begitu bodoh? Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, kemana kiranya dua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun?” Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.

Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup.
“Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... eh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran.”






“Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong amat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kau ambil? Melarikan diri ke utara sudah pasti tidak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kau ambil? melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegunungan dan hutan-hutan.”

Wajah Kwan-ciangkun berseri.
“Ah, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!”

Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek.
“Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya?”

Perwira itu memberi hormat.
“Terima kasih, pangeran!” lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat.

Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara dingin,

“Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya.”

“Akan tetapi, kouwnio, saya telah berusaha menghubungi Kwan-ciangkun untuk menangkap mereka...” Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.

“Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos? Dua orang puterimu, bukan? Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang kepada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!” Wajah Kui Hok Boan makin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!”

Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia belaka, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apalagi setelah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi amat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!

“Ampunkan hamba... ampunkan hamba...” ratapnya.

Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan.

“Jangan membunuh ayah kami!” bentak Lan Lan.

“Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!” bentak Lin Lin.

Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.

Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah. Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji.

“Ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat mempunyai dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, betapa cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!”

Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum.

“Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian?”

“Akan kami bela sampai mati!” jawab Lan Lan tegas sambil memandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.

“Hemm, kalian hebat! Daripada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian?”

“Tidak sudi!” bentak Lin Lin marah.

“Lebih baik kami mati!” teriak pula Lan Lan.

Han Houw menoleh kepada sucinya yang memandang dengan wajah dingin saja.
“Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, bagaikan bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!”

Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin.
“Engkau belum tahu aku siapa dan biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!”

Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memukul Kui Hok Boan. Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin cepat menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.

Akan tetapi, dengan amat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat untuk mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap amat pengecut dan memalukan itu.

Melihat ayahnya berlutut dan meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biarpun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, memiliki kepandaian yang amat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan mati-matian, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapapun mereka menyerang dengan ganasnya, tidak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!

“Ha-ha-ha, cukuplah, kalian benar-benar mempunyai semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!” kata pangeran itu.

Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar itu, dan sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.

“Tuk! Tukk!”

Jari tangan kanan kiri telah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi. Ketika mereka hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lalu melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!

“Lepaskan mereka!” Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.

“Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!” bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut dan dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, mundur kembali.

Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!

“Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan dua orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana, cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau?”

Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk.
“Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!”

Dan memang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!

“Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!”

Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap!

Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu. Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka.

“Baik sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran”

Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis!

Kui Hok Boan mengira bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.

“Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi dan Lin-moi dan cepat pergi dari sini!” tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.

Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran.
“Eh, kenapa?”

“Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!”

“Eh, eh, apakah kalian sudah menjadi gila? Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah di dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!”

Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat.
“Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!” Siong Bu berseru.

“Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!” sambung Beng Sin.

Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut.
“Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian kira kalian akan dapat menang melawan pangeran dan sucinya itu? Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas celaka, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan kalian sendiri akan ikut terangkat derajat kalian! Pergilah!”

Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!

Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat dua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu telah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah sambil membawa beberapa potong pakaian dan uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak.

Lan Lan dan Lin Lin telah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tidak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena daripada ikut ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!

Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik seperti kebakaran jenggot! Bukan saja dia kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan sucinya kalau sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.

“Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri? Hayo kalian pergi cari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!” bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.

Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan agar lebih cepat bisa berhasil, mereka berpencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.

Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri selalu mendatangkan pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti “demi kebahagiaan anak”, demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan “demi aku” yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!

Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapapun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang semua itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.

Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan kalau dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya?

Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia lebih mengerti, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia menjadi marah dan membenci anaknya! Inikah cinta kasih? Yang setiap saat berubah menjadi benci kalau keinginannya dibantah?

Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa ikut bahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan ikut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara? Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.

Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan yang dikejar.

Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang tua yang bijaksana tidak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri.

Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya malah. Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan disini, satu-satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai.

Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.

**** 148 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: