***

***

Ads

Sabtu, 25 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 153

Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenang dan tenteram, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguhpun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik.

Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Namun, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana hidup para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.

Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, telah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil!

Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela telah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng!

Semenjak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar terhadap keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya. Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu bersikap dingin dan benci pria, semenjak dia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya ternyata telah berubah sama sekali.

Sikap dan pandang matanya terhadap kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, membuatnya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang pria!

Padahal, melihat kenyataan betapa kalau tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, kini telah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang amat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu orang condong mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun nyatanya tidaklah demikian keadaannya!

Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukang nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka.

Sudah menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut “maju”, “mulia”, senang, bahagia dan sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekalipun, disebut “maju” kalau gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!






Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia kalau sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda? Berbahagiakah manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi? Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu?

Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak membuta mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian!

Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, harta benda, nama besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun, setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula, semua itu kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin!

Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya menyenangkan nampaknya saja bagi yang belum memilikinya. Namun bagi yang memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Kalau yang belum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya.

Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan tetapi akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memilikinya sajalah yang akan dapat kehilangan!

Apakah dengan kenyataan ini, lalu kita harus menyingkirkan semua milik itu, menolak harta benda, kedudukan, ketenaran dan sebagainya? Tentu saja tidak! Melainkan kita harus mengerti dan sadar bahwa semua itu hanya merupakan semacam pakaian saja bagi manusia, bukan merupakan keperluan mutlak bagi kehidupan!

Sadar dan mengerti pula dengan membuka mata memandang penuh kewaspadaan bahwa semua itu, kalau sampai menjadi ikatan di mana kita melekatkan batin, akan berbalik menjadi siksaan karena menimbulkan rasa takut akan kehilangan, menimbulkan duka kalau semua itu sampai terlepas dari tangan kita!

Pengertian inilah yang akan membebaskan kita dari ikatan, sehingga biarpun kita memiliki harta benda, memiliki kedudukan, atau memiliki nama yang tenar, kita tidak akan mabok, tidak akan terikat, mengerti bahwa semua itu hanyalah sesuatu yang tidak abadi, sesuatu yang fana, yang sekali waktu dapat saja terlepas dari kita.

Pengertian ini yang membebaskan, sehingga kita tidak terikat oleh semua itu, tidak lagi semua yang dianggap sumber kesenangan itu berakar di dalam hati sanubari kita. Karena, kalau sampai berakar segala sumber kesenangan itu dalam batin kita, kemudian suatu waktu semua itu dicabut, maka akar-akarnya akan tercabut dan membuat batin kita terluka dan berdarah sehingga timbullah duka!

Tak mungkin ada kebahagiaan tanpa adanya kebebasan! Bebas bukan berarti kita lalu menjadi apatis, menjadi lemah, menjadi pesimis, atau menjadi pemurung yang putus asa. Sama sekali bukan! Bebas berarti tidak terikat oleh apapun juga! Tentu saja yang dimaksudkan adalah ikatan batin! Sekali kita terikat, maka muncullah duka.

Kita bisa saja menjadi seorang berharta, bisa saja menjadi seorang berkedudukan tinggi, menjadi seorang yang tenar namanya. Namun semua itu kita punyai tanpa kita miliki, atau lebih jelas kita mempunyai semua itu hanya lahir belaka, tidak mendalam menjadi ikatan batin. Dapatkah kita membebaskan diri seperti ini? Jawabannya hanya dapat ditemukan di dalam penghayatan, karena jawaban tanpa penghayatan dalam hidup kita sehari-hari hanya akan menjadi teori kosong belaka, menjadi bahan perdebatan untuk menonjolkan diri sebagai orang yang sok tahu!

Kim Hong Liu-nio memang cerdik. Dia tahu bahwa dia telah memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, maka diapun tidak mau merendahkan diri menuruti gairah rangsangan nafsu yang dibangkitkan oleh mendiang Panglima Lee Siang dan kemudian dipelihara dan dipupuk oleh pikirannya sendiri yang menghidupkan kembali kenikmatan itu melalui kenang-kenangan.

Dia dapat menahah diri dan menanti saat yang baik. Kemudian, setelah dia melihat kelemahan kaisar muda yang tampan itu, wanita ini berlaku amat cerdik dan mulailah dia mendekati kaisar dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat kaisar muda itu melalui lirikan matanya yang jeli, senyuman bibirnya yang merah merekah, dan melalui suaranya yang merdu merayu!

Pada jaman itu, kehidupan kaum bangsawan, terutama sekali kaisar, memang pada umumnya tidak terpisahkan dari kehidupan bersenang-senang, terutama sekali kehidupan sex bagi kaum prianya. Bagi kaum pria bangsawan ini, kaum wanita dianggap sebagai benda hidup yang kedudukannya hanya sebagai penghibur kaum pria, sebagai hal yang selain menjadi sumber kesenangan juga menjadi sumber kebanggaan.

Pada jaman itu, agaknya kaum wanita menyadari dan menerima saja kedudukan itu, dan pada sebagian kaum wanita, yang terpenting bagi mereka hanyalah mendapatkan suami yang berkedudukan tinggi atau yang kaya raya! Bagi sebagian besar di antara kaum wanita di jaman itu, lebih baik menjadi bini muda yang ke sekian belas atau ke sekian puluh dari seorang pria tua bangsawan atau hartawan daripada menjadi isteri tunggal seorang pria muda yang miskin tanpa kedudukan!

Inilah sebabnya mengapa kaum pria tua yang bangsawan atau hartawan, amat mudahnya mempunyai koleksi kaum wanita yang menjadi bini-bini mudanya, menjadi pelayan-pelayan yang setiap waktu dapat saja memperpanjang deretan bini muda!

Terutama sekali kaisar! Bagi hampir semua wanita di jaman itu, menjadi selir kaisar merupakan anugerah seperti bintang jatuh dari langit! Bahkan menjadi dayang saja sudah merupakan kehormatan besar yang diimpikan oleh hampir setiap orang dara! Ini adalah akibat dari pemujaan yang melampaui batas terhadap sang kaisar, sehingga setiap orang ibu menggambarkan kehebatan kaisar dan kehidupan di istana itu kepada puteri-puterinya semenjak mereka masih kecil, menjejalkan kesenangan-kesenangan yang tak mungkin mereka dapat rasakan, seperti kesenangan-kesenangan dalam sorga saja, ke dalam kepala-kepala kecil itu sehingga tentu saja, makin dewasa anak-anak perempuan itu, makin menariklah gambaran tentang kehidupan yang amat mulia itu.

Dari dalam kamar-kamar indah mewah istana kaisar inilah mengalirnya perkembangan kehidupan sex yang kemudian menjadi kitab-kitab ilmu sanggama yang tersebar luas sampai ke seluruh dunia!

Kaisar Ceng Hwa pun tidak terkecuali. Dia menjadi kaisar dalam usia sembilan belas tahun, sedang menginjak usia remaja yang berkembang sehingga mudah saja dia diperhamba oleh kesenangan-kesenangan sex yang seolah-olah didorong-dorongkan kepadanya oleh para penjilat dalam istana. Bahkan ibunya sendiri, ibu suri, mendatangkan guru-guru yang bertugas mengajarkan hal-hal mengenai hubungan pria dan wanita kepada kaisar muda ini, dan beberapa orang wanita muda yang cantik dan berpengalaman dipilih untuk mengajarkan hal-hal itu dalam praktek kepada sang kaisar muda.

Hal seperti ini bukan merupakan dongeng, melainkan merupakan kenyataan yang tercatat dalam sejarah. Demikianlah, tidak mengherankan apabila dalam waktu singkat saja Kaisar Ceng Hwa, seperti juga para kaisar ratusan atau ribuan tahun sebelumnya, telah jatuh menjadi seorang hamba nafsu berahinya sendiri! Mulailah dia mencari-cari, memilih-milih di antara para puteri dayang-dayang dan dara-dara yang cantik jelita untuk mengisi haremnya, untuk secara bergilir atau berkelompok menghiburnya, melayaninya, baik di taman maupun di dalam kamar tidurnya.

Kemudian muncullah Kim Hong Liu-nio! Pada suatu senja, wanita ini dilaporkan oleh pengawal kepada kaisar yang sedang bersenang-senang di dalam taman dan ditemani oleh lima orang selirnya yang paling disukanya. Kaisar itu duduk di tepi kolam ikan, memberi makan ikan-ikan emas, dibantu oleh dua orang selirnya sedangkan yang tiga orang lagi memainkan alat musik yang-khim dan suling, melagukan nada-nada merdu dari lagu yang romantis sehingga suasana menjadi romantis sekali.

Mendengar bahwa Kim Hong Liu-nio minta menghadap, kaisar cepat memberi tahu kepada para pengawal agar wanita perkasa itu langsung saja memasuki taman, dan dia melepaskan rangkulannya kepada dua orang selirnya, bahkan memberi isyarat kepada selir lain untuk menghentikan permainan mereka. Lima orang selir itu mengenal pula siapa adanya Kim Hong Liu-nio, maka merekapun duduk dengan tenang dan hormat karena mereka tahu bahwa wanita ini mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, dikenal sebagai penyelamat nyawa kaisar!

Biasanya kaisar memandang Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan menimbulkan kagum dan hormat. Belum pernah selama ini dia menggambarkan Kim Hong Liu-nio sebagai seorang wanita dengan daya tarik kewanitaannya, melainkan sebagai seorang pendekar wanita yang serba keras dan kokoh kuat di balik kecantikannya.

Akan tetapi ketika itu dia belum begitu “matang” dalam penilaiannya terhadap wanita dan sudah lama dia tidak berjumpa dengan wanita itu. Maka kini, ketika melihat Kim Hong Liu-nio memasuki pintu taman dan melangkah menghampiri tempat itu, sepasang matanya yang sudah terbiasa menilai wanita, kini memandang penuh perhatian dan penilaian! Bukan hanya wajah yang cantik segar dihias rambut yang disanggul tinggi itu, melainkan juga pandang matanya menurun ke leher, ke arah dada yang membusung angkuh, kepada tubuh yang tegak namun tinggi semampai, pinggang yang amat ramping dan pinggul yang membesar, kemudian langkah yang begitu tegap namun mengandung kelembutan dan daya tarik yang menjanjikan kemesraan.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: