***

***

Ads

Sabtu, 25 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 160

Biarpun melakukan hubungan kelamin merupakan pantangan keras bagi Ciauw Si sebelum dia menikah, namun dia tidak dapat menolak ketika pangeran itu kembali mendekapnya, membelai dan menciuminya. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa ada gairah di dalam hatinya yang bernyala, bergelora dan yang mendorongnya untuk membalas penumpahan kasih sayang dari pangeran ini.

Sampai senja terganti malam gelap dan terdengar suara ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang mencari mereka, barulah mereka bangkit dan sambil berpegangan tangan mereka meninggalkan taman itu. Sambil melangkah perlahan-lahan, pangeran itu bertanya ke mana kekasihnya hendak pergi dan bagaimana dia dapat mengajukan pinangan.

“Aku telah terlalu lama meninggalkan Cin-ling-pai,” jawab Ciauw Si. “Dari sini aku akan kembali ke Cin-ling-san, kemudian aku akan pulang ke rumah ibuku di Sin-yang dan aku... aku akan menanti kunjunganmu di sana, pangeran.”

Diam-diam hati pangeran itu terharu. Dia tidak berani menceritakan, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa hati kekasihnya ini akan merana dan menderita pukulan hebat kalau mengetahui bahwa kakeknya, ketua Cin-ling-pai, telah meninggal dunia dan betapa ibunya kini telah menjadi buronan pemerintah!

“Baiklah, kekasihku, engkau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku mencarimu dan meminangmu dari ibumu. Sementara itu, kalau engkau membutuhkan bantuanku, atau kalau hendak mencariku, datanglah saja ke istana. Kalau engkau mengaku sebagai tunanganku atau sahabatku dan memperlihatkan cincin ini, tentu engkau akan diterima dengan kehormatan sebagai tamu agung.”

Setelah berkata demikian, Pangeran Ceng Han Houw mencabut cincin yang dipakainya di jari manis kirinya, sebuah cincin bermata mutiara yang indah, kemudian dia memegang tangan kanan Ciauw Si dan memasangkan cincinnya itu ke jari telunjuk Ciauw Si. Pas sekali!

Ciauw Si mencium cincin di jari tangannya itu dan mereka lalu memasuki ruangan di mana dua orang ketua telah menanti dan mereka itu memandang dengan wajah berseri. Sebagai orang-orang tua berpengalaman mereka maklum akan apa yang terjadi antara dua orang muda itu. Sin Liong juga sudah menanti mereka di situ dan mereka lalu makan malam dengan penuh kegembiraan.

Pada keesokan harinya, Lie Ciauw Si melanjutkan perjalanannya, atau lebih tepat lagi, mengakhiri perjalanannya untuk kembali ke Cin-ling-san dengan hati ringan dan penuh kebahagiaan. Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw bersama Sin Liong lalu melanjutkan perjalanannya mencari Ouwyang Bu Sek.

Sementara itu, dua pasang suami isteri pendekar di lereng bukit Bwee-hoa-san, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong menjadi terkejut sekali ketika mereka mendengar suara bising dari pasukan kerajaan yang menyerbu ke lereng itu.

Terlambat, pikir mereka dan diam-diam mereka merasa kasihan kepada mata-mata yang menyampaikan berita kepada mereka tadi. Tentu telah tertangkap. Akan tetapi, mereka tidak sempat memikirkan nasib mata-mata itu karena pasukan telah muncul dan mereka harus cepat bertindak.

Kun Liong yang mengingat akan keadaan adiknya yang sedang mengandung, lalu menyuruh isterinya, Cia Giok Keng, menemani In Hong untuk lebih dulu melarikan diri ke utara, sedangkan dia sendiri bersama Bun Houw akan menghadapi pasukan yang menyerbu dari selatan itu. Dua orang wanita pendekar itu mula-mula tidak setuju dan mereka ingin menghadapi musuh di samping suami mereka.

“Apa artinya empat orang dari kita menghadapi musuh yang ratusan orang, bahkan ribuan orang banyaknya?” bantah Kun Liong. “Tidak, kalian berdua harus pergi lebih dulu, apalagi Hong-moi sedang mengandung, tidak baik untuk menggunakan tenaga melakukan pertempuran.”






“Apa yang dikatakan oleh Liong-ko sungguh tepat, dan kita tidak boleh ragu-ragu lagi,” sambung Bun Houw. “Apalagi kita bukanlah pemberontak, dan sama sekali tidak pernah terkandung dalam hati kita untuk menentang pemerintah, apalagi melawan pasukan kerajaan. Kita hanya membela diri, maka biarlah kalian melarikan diri lebih dulu, kami berdua akan menahan mereka kemudian setelah mendapat kesempatan, kamipun tentu akan melarikan diri."

“Akan tetapi ke mana kami harus pergi?”

Cia Giok Keng, nyonya muda yang masih bersemangat itu membantah. In Hong yang di dalam hatinya juga tidak setuju, namun karena maklum bahwa dalam keadaan mengandung tidak mungkin baginya untuk dapat mengerahkan tenaga sepenuhnya tanpa membahayakan kandungannya, hanya diam saja.

“Kau ajaklah Hong-moi lari ke rumah anak kita di Yen-tai, dan untuk sementara bersembunyi disana, kami akan menyusul kalian secepatnya,” kata Kun Liong tergesa-gesa karena suara bising kini makin mendekat. “Jangan lupa, hati-hatilah agar jangan sampai ada yang tahu bahwa kalian memasuki Yen-tai agar anak kita tidak sampai terbawa-bawa.”

Karena kini pasukan kerajaan sudah datang dekat, dua orang nyonya itu tidak membuang waktu lagi dan cepat mereka melarikan diri ke utara, berlawanan dengan pasukan yang naik ke bukit dari selatan.

Biarpun sedang mengandung, namun karena tingkat kepandaiannya memang sudah amat tinggi, In Hong dapat melarikan diri dengan cepat tanpa membahayakan dirinya, tanpa pengerahan tenaga banyak-banyak. Dengan cepat dua orang wanita perkasa ini sudah turun dari lereng Bukit Bwee-hoa-san.

Akan tetapi ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tiba-tiba saja dari balik semak-semak dan pohon-pohon berlompatan keluar pasukan pemerintah yang agaknya sudah berjaga-jaga di tempat itu! Dalam waktu cepat sekali telah muncul puluhan orang perajurit, bahkan agaknya tidak kurang dari seratus orang! Dan seorang perwira sudah bergerak meneriakkan aba-aba kepada mereka untuk bergerak menangkap dua orang pendekar wanita itu!

Yap In Hong adalah seorang wanita yang cantik jelita biarpun dalam keadaan sedang mengandung lima bulan, sedangkan Cia Giok Keng, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, juga masih tampak cantik, maka para perajurit itu tersenyum dan menyeringai girang ketika menerima perintah yang dianggapnya amat ringan dan menyenangkan itu.

Mereka seperti segerombolan serigala yang hendak berebut dulu menerkam dua ekor kelinci. Akan tetapi begitu orang-orang pertama menerjang, ternyatalah bahwa yang disangka kelinci-kelinci gemuk itu adalah dua ekor singa betina yang amat liar dan hebat! Dua orang wanita itu menggerakkan kaki tangan dan dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah terlempar dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit berdiri lagi!

Gegerlah para pasukan itu dan baru teringat oleh mereka bahwa dua orang wanita ini adalah pemberontak-pemberontak, buronan yang memiliki kepandaian tinggi! Maka mereka lalu mengurung dan menerjang dari semua jurusan. Terjadilah pertempuran yang hebat karena betapapun juga, dua orang itu tidak mau menyerah begitu saja.

Sayang bahwa Yap In Hong sedang mengandung sehingga dia tidak berani mengerahkan tenaga sin-kang terlalu kuat. Andaikata tidak demikian, tentu amukannya akan membuat seratus orang pasukan itu tidak berdaya, apalagi ada Cia Giok Keng yang membantunya. Kini, mereka dikepung rapat dan terdesak oleh serangan bertubi-tubi, biarpun tidak mudah pula bagi para perajurit itu untuk dapat merobohkan dua orang wanita perkasa ini.

“In Hong, larilah, biar aku menahan tikus-tikus ini!” kata Cia Giok Keng.

“Tidak, kita lari berdua, atau tinggal berdua!” In Hong berkata.

Tiba-tiba Cia Giok Keng membentak ke arah para pengeroyoknya dengan suara lantang dan melengking tinggi,

“Mundurlah kalian! Kami tidak ingin membunuh kalian! Akan tetapi kalau kalian mendesak, apa boleh buat, kami harus mempertahankan diri!”

Setelah berkata demikian, nyonya yang perkasa ini telah mencabut pedangnya dan nampaklah sinar berkilauan putih. Nyonya itu telah mencabut pedangnya yang sejak tadi tak pernah dipergunakan, yaitu Gin-hwa-kiam. Memang kedua orang nyonya ini telah menerima pesan berkali-kali dari suami-suami mereka bahwa mereka itu bukanlah pemberontak-pemberontak, maka tidak boleh membunuh pasukan kerajaan yang hanya menerima perintah atasan. Maka ketika dikeroyok tadi, mereka hanya mengandalkan kaki tangan untuk menjaga diri.

Menghadapi ancaman itu, tentu saja para perajurit tidak mau mundur, bahkan mereka kinipun mengeluarkan senjata masing-masing dan mengurung dua orang wanita itu dengan ketat.

“Lebih baik kalian menyerah saja daripada harus menghadapi kekerasan!” bentak seorang perwira.

“Majulah! Siapa maju lebih dulu akan mampus lebih dulu,” In Hong yang sudah marah itupun membentak.

Empat orang perajurit menyeringai dan dengan tombak di tangan mereka menubruk ke arah nyonya cantik yang sedang mengandung ini. Akan tetapi nampak sinar hijau dan empat orang itu memekik ngeri dan roboh, tewas seketika karena mereka itu menjadi korban serangan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun) yang dilepas oleh Yap In Hong tadi.

Gegerlah para perajurit dan mereka itu segera menerjang dengan senjata mereka. Cia Giok Keng memutar pedangnya dan Yap In Hong juga melawan sambil kadang-kadang merobohkan beberapa orang dengan pasir beracun itu.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar kepungan.
“Ibu, jangan takut, aku datang membantumu!”

“Ciauw Si...!”

Cia Giok Keng berseru dengan isak tertahan ketika dia mengenal suara puterinya yang telah pergi untuk bertahun-tahun itu. Dan kepungan itu mulai bobol dan rusak oleh mengamuknya Lie Ciauw Si dari sebelah luar. Dara ini marah sekali melihat ibunya terkepung, dan dia melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja!

Tingkat kepandaian Lie Ciauw Si memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibunya, dan biarpun dia tidak dapat dikatakan selihai In Hong, namun nyonya ini sedang mengandung sehingga tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya.

Munculnya dara yang mengamuk hebat itu membuat para perajurit yang tadinya memang sudah gentar menghadapi dua orang nyonya yang benar-benar lihai itu menjadi kalang kabut.

“Ibu... bibi... lari...!”

Ciauw Si berseru setelah berhasil membuka kepungan itu. Mereka lalu melarikan diri, In Hong di depan, dan Giok Keng bersama puterinya di belakang sambil menahan para perajurit yang mengejar mereka. Dengan menggunakan ilmu berlari cepat, dan ditambah lagi karena para pengawal pengejar itu sudah merasa gentar dan mereka menanti bala bantuan, akhirnya tiga orang wanita ini dapat melarikan diri dan tidak dapat disusul lagi oleh para perajurit.

Sementara itu, Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw juga sudah mengamuk ketika mereka dikurung oleh banyak sekali perajurit. Mereka tidak mau membunuh, hanya merobohkan para pengeroyok tanpa mengakibatkan luka parah dan memang mereka sengaja mengamuk untuk menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran kepada isteri-isteri mereka.

Mereka melihat seorang nenek muka hitam dan seorang wanita cantik yang berdiri di belakang pasukan dan tahulah dua orang pendekar ini bahwa yang memimpin pengepungan ini bukan lain adalah musuh-musuh lama mereka, yaitu Hek-hiat Mo-li dan muridnya, Kim Hong Liu-nio yang lihai!

Melihat mereka, dua orang pendekar ini menjadi marah, akan tetapi juga terkejut dan khawatir akan keselamatan isteri mereka yang telah lebih dulu melarikan diri. Dua orang wanita itu adalah orang-orang yang kejam dan cerdik, maka sebaiknya kalau mereka itu dipancing agar makin menjauhi arah larinya isteri mereka. Kun Liong lalu berteriak nyaring dan meloncat jauh sambil berseru.

“Bun Houw, lari...!”

Bun Houw tidak membantah dan meloncat, mengikuti kakak iparnya dan mereka berdua melarikan diri ke barat.

Memang sejak tadi Kim Hong Liu-nio sudah merasa heran melihat bahwa dua orang wanita isteri dua orang pendekar tidak nampak. Tak mungkin dua orang wanita itu bersembunyi karena keduanya adalah wanita-wanita yang berkepandaian tinggi. Tentu mereka itu kebetulan sedang pergi, pikirnya. Maka ketika melihat dua orang pendekar itu melarikan diri, Kim Hong Liu-nio mengeluarkan aba-aba untuk melakukan pengejaran.

Dia maklum akan kelihaian dua orang pendekar itu, maka biarpun dia dibantu oleh gurunya, dia tidak berani ceroboh turun tangan sendiri tanpa bantuan pasukan yang besar jumlahnya. Kim Hong Liu-nio menyangka bahwa tentu dua orang pendekar itu akan memberi tahu isteri-isteri mereka untuk bersama-sama melawan pasukan atau bersama melarikan diri, maka dia mengajak gurunya untuk melakukan pengejaran.

Tentu saja Kun Liong dan Bun Houw bukan melarikan diri karena takut, melainkan untuk memancing mereka itu mengejar agar isteri-isteri mereka sempat melarikan diri dari Bwee-hoa-san. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa isteri-isteri mereka itu kini sedang menghadapi pengeroyokan para perajurit yang oleh Kim Hong Liu-nio memang sudah ditugaskan untuk melakukan penjagaan di sekeliling bukit itu!

Setelah merasa cukup jauh meninggalkan Bwee-hoa-san dan tidak berlari terlalu cepat sehingga pasukan itu dapat mengikuti mereka terus, dua orang pendekar itu berhenti di luar sebuah hutan. Dengan bertolak pinggang mereka menanti datangnya pasukan yang masih dipimpin oleh nenek muka hitam dan muridnya itu, setelah mereka tiba dekat, Cia Bun Houw lalu membentak dengan suara lantang berwibawa.

“Berhenti kalian! Sebagai perajurit-perajurit kerajaan, apakan kalian lupa bahwa keluarga Cin-ling-pai semenjak dahulu adalah keluarga pendekar yang selalu membantu pemerintah menghadapi para pemberontak? Mendiang ayahku, Cia Keng Hong, bahkan adalah sahabat baik mendiang Panglima The Hoo! Kalau sekarang kami sekeluarga dianggap pemberontak, hal itu hanyalah fitnah semata! Dan kami pasti pada suatu hari akan dapat membongkar rahasia fitnah busuk ini!”

Melihat sikap pendekar itu yang amat gagah dan mendengar ucapan itu, para perajurit, terutama mereka yang sudah lama mengenal nama besar keluarga Cin-ling-pai, kelihatan gentar, dan mereka benar saja berhenti bergerak hanya berdiri memandang kepada dua orang pendekar itu.

Melihat ini, Bun Houw dan Kun Liong cepat melompat ke depan dan masing-masing sudah menerjang Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Dua orang wanita itu cepat menyambut serangan mereka dan dari mulut Hek-hiat Mo-li keluar suara meringkik aneh seperti seekor kuda marah, padahal nenek ini bermaksud tertawa karena hatinya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan seorang musuh-musuhnya! Memang nenek ini sudah pikun, namun dia masih lihai sekali ketika menyambut terjangan Yap Kun Liong.

Kun Liong yang sudah maklum akan kelihaian nenek bermuka hitam ini, begitu melihat si nenek menangkis pukulannya dengan tangan kiri, sengaja dia mengadukan lengannya dan seketika dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Memang ilmu ini tidak boleh sembarangan dipergunakan, namun menghadapi seorang tokoh besar selihai nenek ini, dia tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakannya.

“Dukk!”

Dua lengan bertemu dan menempel ketat karena Kun Liong sudah menggunakan tenaga menyedot.

“Iihhh-heh-heh-heh!”

Hek-hiat Mo-li terkekeh dan tiba-tiba Kun Liong merasa betapa kini tenaga yang seketika tadi membanjir dari nenek itu telah berhenti sama sekali dan sebaliknya jari-jari tangan berkuku panjang yang hitam dan mengeluarkan bau busuk telah menyerang dengan gerakan menggores ke arah nadi pergelangan tangannya!

Inilah serangan berbahaya sekali dan terpaksa dia menyimpan tenaga Thi-khi-i-beng dan menarik kembali lengannya! Ternyata Ilmu Thi-khi-i-beng telah dapat dipunahkan secara demikian mudah dan licik oleh nenek itu, yaitu dengan menyimpan sin-kang dan menyerang tempat berbahaya yang berdekatan dengan bagian tubuh yang menempel! Dan memang selama ini, nenek itu telah mempelajari semua ilmu-ilmu para musuhnya yang lihai untuk mencari jalan menghadapi ilmu-ilmu itu, termasuk Ilmu Thi-khi-i-beng yang ditakuti!

Setelah tahu bahwa Thi-khi-i-beng tidak akan dapat memenangkannya melawan nenek ini, Yap Kun Liong lalu bersilat dengan gaya yang aneh sekali dan inilah ilmu silat aneh yang didapatkannya dengan mengambil inti sari kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong!

Terdengar nenek itu berkali-kali berseru “ah” dan “oh” karena heran dan bingungnya menghadapi ilmu silat aneh ini yang memang tidak pernah dikenal di dunia kang-ouw, merupakan ilmu silat tunggal dari Kun Liong. Namun, nenek itupun hebat bukan main. Biarpun semua serangannya gagal menghadapi perlawanan Kun Liong, namun diapun selalu dapat menghindarkan diri dari pukulan-pukulan ampuh pendekar itu.

Keanehan ilmu sitat Kun Liong memang kadang-kadang menghasilkan satu dua kali pukulan, namun semua pukulan yang mengandung hawa sin-kang amat kuat itu tidak melukai tubuhnya yang dilindungi kekebalan yang luar biasa.

Sementara itu, pertandingan antara Cia Bun Houw melawan Kim Hong Liu-nio juga amat seru dan mati-matian. Akan tetapi, jelaslah bahwa tingkat Cia Bun Houw masih lebih tinggi, terutama dalam kekuatan sin-kang. Pendekar ini maklum bahwa lawannya amat lihai dan mahir ilmu silat bermacam-macam, sehingga kalau hanya mengandalkan ilmu silat, agaknya akan sukar baginya untuk memperoleh kemenangan. Maka, Bun Houw lebih mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuat dan memang benarlah, begitu dia mengerahkan seluruh tenaganya, Kim Hong Liu-nio tidak kuat menghadapinya dan hanya main mundur terus, sama sekali tidak berani mengadu lengan.

Kalau dilanjutkan pertempuran dua lawan dua itu, agaknya sudah dapat dipastikan bahwa Kim Hong Liu-nio akan roboh lebih dulu, dan kalau sudah demikian, tentu Hek-hiat Mo-li yang agaknya tidak akan mungkin dapat mengalahkan Yap Kun Liong itupun akan celaka kalau dikeroyok dua!

Kim Hong Liu-nio dapat melihat kenyataan ini, maka dia lalu berteriak memerintahkan pasukan untuk ikut mengeroyok! Majulah seratus lebih perajurit itu mengepung dan mengeroyok Kun Liong dan Bun Houw.

“Bun Houw, mari kita pergi!”

Yap Kun Liong berseru nyaring karena mereka maklum bahwa dikeroyok demikian banyak orang amat berbahaya, apalagi karena mereka tidak ingin membunuh para perajurit itu. Keduanya lalu mengirim serangan yang dahsyat ke arah dua orang wanita itu, memaksa mereka itu mundur dan menggunakan kesempatan itu untuk meloncat tinggi ke atas, melampaui kepala para pengeroyoknya dan mereka terus berloncatan pergi dari tempat itu memasuki hutan.

Pasukan itu mengejar sambil berteriak-teriak, namun sekali ini dua orang pendekar itu memang sengaja hendak melarikan diri, maka tentu saja dengan ilmu berlari cepat, pasukan itu tidak mungkin dapat menyusul mereka, sedangkan guru dan murid yang kalau mau dapat menyusul itupun merasa jerih untuk menghadapi mereka berdua saja.

Dengan jalan memutari hutan itu, akhirnya dua orang pendekar inipun melakukan perjalanan secepatnya untuk menyusul isteri-isteri mereka menuju ke kota pelabuhan Yen-tai, tempat tinggal Souw Kwi Beng dan isterinya, Yap Mei Lan, puteri dari pendekar Yap Kun Liong.

**** 160 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: