***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 167

“Setelah aku menitipkan ibu dan bibi Hong kepada perkumpulan itu, aku lalu pergi ke Yen-tai untuk mengabarkan hal itu kepada enci Mei Lan. Dan disana aku bertemu dengan mereka berdua. Malah bersama mereka aku kembali lagi ke Yen-ping, dan kini mereka semua berkumpul disana.”

“Kau sekarang ini sedang hendak kesana, Si-moi?”

“Tadinya aku hendak pergi ke kota raja...”

“Kau? Ke kota raja? Keluarga kita dituduh memberontak dan kau malah ke kota raja? Apakah mencari celaka?”

“Tidak, aku hendak mencari Pangeran Ceng Han Houw...”

“Ah, pangeran yang cincinnya engkau bawa dan telah menjadi jimat yang menyelamatkan kami tadi? Eh, Si-moi, bagaimana engkau bisa memperoleh cincin pangeran itu?”

Jantung Ciauw Si berdebar kencang dan mukanya menjadi merah, akan tetapi cepat dia menekan perasaannya yang terguncang.

“Aku bertemu dengan dia di selatan dan kami telah menjadi sahabat baik. Dia memberikan cincin ini kepadaku sebagai tanda persahabatan dan agar mudah bagiku kalau hendak mencarinya di kota raja. Sungguh tidak kusangka cincin ini dapat kupergunakan untuk mengundurkan semua pasukan itu. Baru kuketahui bahwa kekuasaan pangeran itu benar-benar tinggi.”

“Lalu mau apa engkau mencarinya di kota raja?”

“Aku dapat menduga niat yang bijaksana dari adik Ciauw Si,” tiba-tiba Sun Eng ikut bicara. “Setelah mempunyai sahabat seorang pangeran yang demikian tinggi kedudukannya, yang memiliki cincin kekuasaan yang mampu mengundurkan pasukan kerajaan itu, tentu adik Ciauw Si ingin minta bantuan pangeran itu untuk membersihkan nama Cin-ling-pai, bukan?”

Ciauw Si memandang kepada wanita cantik itu dengan kagum, lalu mengerling kepada kakaknya dan berkata,

“Wah, calon so-so rupanya jauh lebih cerdik daripada engkau, Seng-ko! Memang dugaannya itu tepat sekali!”

Lie Seng tersenyum bangga.
“Kalau tidak cerdik, masa dia menjadi pilihanku?” Mereka tertawa gembira.

“Karena pertemuan ini, biarlah kuantar kalian ke Yen-ping lebih dulu menjumpai ibu sebelum aku melanjutkan perjalananku ke kota raja. Marilah koko, mari enci Eng.”

Akan tetapi Ciauw Si merasa heran sekali melihat mereka berdua itu saling pandang penuh keraguan, apalagi Sun Eng yang memandang calon suaminya dengan wajah berubah agak pucat.






“Kau... kau bilang yang di Yen-ping itu... ibu kandungmu dan... dan...” Sun Eng tidak melanjutkan kata-katanya.

“Yang berada di rumah ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang adalah ibu, ayah tiriku, paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong. Tidak ada siapa-siapa lagi,” sambung Ciauw Si.

Sun Eng kelihatan ngeri mendengar dua nama terakhir itu. Akan tetapi tiba-tiba Lie Seng berkata penuh semangat,

“Mari kita pergi! Memang aku ingin sekali bertemu dengan ibu dan membicarakan urusan perjodohanku!”

Dengan kata-kata ini dia memandang kepada Sun Eng dan seolah-olah berjanji dengan pandang matanya bahwa dialah yang akan menanggung semua urusan yang mungkin timbul kalau calon isterinya itu bertemu dengan Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Melihat sinar mata calon suaminya ini, Sun Eng menunduk dan mengangguk. Maka berangkatlah mereka bertiga menuju ke Yen-ping dan di sepanjang perjalanan, kakak dan adik ini tiada hentinya saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing lebih lanjut.

Sun Eng tidak banyak bicara karena wanita itu tenggelam dalam lamunannya sendiri, lamunan penuh penyesalan karena kini dia akan dijumpakan dengan bekas suhu dan subonya, dan mengingat mereka maka teringat pula dia akan segala penyelewengannya yang amat memalukan.

Akan tetapi kalau dia menoleh kepada Lie Seng, dan calon suaminya itupun menoleh kepadanya, dia memperoleh sandaran yang kuat karena dia maklum bahwa yang terpenting baginya adalah Lie Seng dan orang lain tidak masuk hitungan lagi! Kalau sudah begini, kuatlah hatinya dan dia sanggup menghadapi apapun juga di samping Lie Seng, satu-satunya pria di dunia ini yang masih sanggup mencintanya dengan tulus ikhlas sungguhpun telah mendengar semua penuturannya tentang penyelewengan di masa lampau.

Mereka berempat itu, Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong dua orang kakak beradik yang menjadi dua pasang suami isteri itu, pendekar-pendekar sakti yang menjadi tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai yang kini telah bubar setelah pendekar Cia Keng Hong meninggal, kini menjadi buronan-buronan yang terpaksa harus menyembunyikan diri di dalam sebuah di antara rumah-rumah di pusat perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

Mereka berempat jarang keluar dari rumah, dan mereka dilayani sebagai tamu-tamu agung oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Gu Kok Ban dan Tong Siok. Tentu saja dua orang ketua inipun merasa amat gelisah dengan adanya empat orang pendekar sakti itu yang menjadi orang-orang buronan pemerintah. Akan tetapi karena mereka merasa berhutang budi kepada Ciauw Si, apalagi karena mereka memang merasa kagum kepada para pendekar Cin-ling-pai yang sakti itu, mereka berdua menerima mereka dengan penuh kehormatan dan menyatakan tidak keberatan melindungi mereka sampai nyonya muda yang mengandung itu melahirkan.

Kandungan Yap In Hong telah delapan bulan dan mereka berempat itu selalu menyembunyikan diri, tidak pernah berhubungan dengan orang luar kecuali hanya dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu saja. Bahkan para anggauta perkumpulan itu hanya tahu bahwa ketua mereka menerima tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi merekapun tidak diberi tahu siapa adanya tamu-tamu itu.

Ketika Ciauw Si datang kembali bersama Lie Seng dan Sun Eng, dua orang ketua itu menyambut dengan girang. Mereka selalu merasa kagum dan penuh hormat kepada Ciauw Si, maka ketika nona itu memperkenalkan Lie Seng sebagai kakak kandungnya dan Sun Eng sebagai calon kakak iparnya, dua orang ketua itu memberi hormat kepada mereka. Kemudian, tiga orang muda ini langsung memasuki rumah yang menjadi tempat persembunyian dua pasang suami isteri pendekar itu.

Empat orang itu telah duduk di ruangan lebar dan mereka sudah merasa girang sekali mendengar akan kedatangan kembali Ciauw Si bersama Lie Seng. Ketika tiga orang muda itu memasuki rumah ruangan, serta-merta Lie Seng dan Ciauw Si menghampiri ibu mereka dengan girang, dan Sun Eng yang masuk pula dengan wajah pucat, lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Bun Houw dan In Hong sambil berkata lirih,

“Suhu... subo...!”

Suami isteri ini terbelalak memandang ketika mereka mengenal Sun Eng. Berubahlah wajah Bun Houw dan In Hong, menjadi kemerahan. Mereka tidak ingin orang lain, apalagi keluarga mereka, mendengar tentang diri murid murtad yang memalukan ini, dan siapa kira, murid ini sekarang berani mati muncul di depan mereka, di tempat persembunyian dan di depan para keluarga!

“Mau apa kau kesini?” bentak Bun Houw.

“Hayo pergi! Pergi kau dari sini cepat, atau... kuhajar engkau!” bentak In Hong pula sambil bangkit berdiri.

Suami isteri itu dengan wajah merah dan sepasang mata menyinarkan cahaya kemerahan sudah berdiri menghadapi Sun Eng yang masih berlutut.

Melihat ini, tiba-tiba Lie Seng meloncat dan dia sudah berdiri di depan Sun Eng, melindungi dara itu dan menghadapi paman dan bibinya dengan mata bersinar-sinar.

“Paman dan bibi, harap sabar dan mundur dulu...!” katanya sambil mengangkat kedua tangannya.

“Minggir kau, Seng-ji, biar kami hajar bocah murtad ini!” bentak Bun Houw yang semakin marah melihat keponakannya hendak melindungi gadis yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya itu!

Mendengar ini, habislah kesabaran Lie Seng dan sikapnya menentang.
“Paman dan bibi, siapapun juga di dunia ini tidak boleh menyentuh Eng-moi, apalagi hendak menghajarnya! Kalau paman dan bibi hendak memukulnya, kalian harus lebih dulu membunuh aku!”

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut setengah mati mendengar ini. Mereka berdua terbelalak memandang wajah Lie Seng, dan Cia Bun Houw berseru,

“Apa yang kau katakan ini, Lie Seng? Jangan kau mencampuri, dia itu adalah bekas murid kami yang murtad dan...”

“Aku tahu, paman. Akan tetapi hendaknya paman dan bibi juga mengetahui bahwa dia ini adalah calon isteriku yang tercinta!”

“Apa...?” Bun Houw dan In Hong berseru hampir berbareng.

Sementara itu, Cia Giok Keng yang merasa terkejut sekali menyaksikan sikap tiga orang itu terhadap gadis cantik yang berlutut itu, sudah hangkit pula dan bertanya dengan gelisah,

“Apakah artinya semua ini?”

“Cici, perempuan ini adalah murid kami yang murtad!”

“Ibu, nona Sun Eng ini adalah calon isteriku yang hendak kuperkenalkan kepada ibu...”

“Tidak boleh jadi! Aku tidak sudi membiarkan keponakanku menikah dengan perempuan hina...”

“Paman! Harap paman jangan melanjutkan kata-kata itu!” bentak Lie Seng dengan marah.

Melihat suasana yang panas itu, Yap Kun Liong cepat bangkit berdiri dan menghampiri mereka, berdiri di tengah-tengah, kemudian dengan suara halus namun berwibawa dia berkata,

“Hentikan semua kekerasan ini! Kita adalah di antara keluarga sendiri, kalau ada urusan dapat dibicarakan dengan tenang dan dengan kepala dingin. Agaknya terdapat perbedaan faham antara adik-adikmu dan puteramu, mari kita bicara baik-baik,” sambung Kun Liong kepada isterinya yang menjadi bingung dan yang sudah pucat wajahnya itu. Giok Keng mengangguk lalu dia menoleh kepada Ciauw Si sambil berkata,

“Engkau pergilah keluar dulu, Ciauw Si.”

Ciauw Si mengerti bahwa ada apa-apa yang tidak beres dengan tunangan kakaknya itu, dan sebagai seorang gadis dia agaknya tidak diperbolehkan ikut mendengarkan perkara yang hendak dibicarakan, maka diapun mengangguk dan bangkit, hendak meninggalkan ruangan itu.

“Si-moi, jangan pergi!”

Lie Seng berkata, dan pemuda ini nampak marah. Memang dia sudah menduga bahwa urusannya dengan Sun Eng akan mendatangkan keributan dalam keluarganya, apalagi guru-guru kekasihnya berada disitu pula, dan akan terjadi dan keadaan betapa pahitpun yang akan dihadapinya.

“Ciauwsi sumoi engkau sudah dewasal dan engkaupun anggauta keluarga kita, maka biarlah engkau ikut mendengarkan dan mempertimbangkan. Apa yang dikatakan oleh paman Yap Kun Liong benar. kita harus berterus terang dan membuka kartu, dan biarlah nasib perjodohanku dibicarakan antara keluarga kita sampai selesai!”

Mendengar ucapan kakaknya dan melihat sikap yang keras itu, Ciauw Si menunduk dan tidak jadi pergi, diam-diam dia merasa khawatir sekali. Suasana menjadi hening sekali setelah Lie Seng mengeluarkan kata-katanya terhadap adiknya ini, hening yang amat menegangkan hati.

Sejenak mereka semua hanya saling pandang, terutama sekali Cia Giok Keng yang masih bingung menghadapi peristiwa yang tidak disangka-sangkanya itu. Dalam beberapa saat ini hatinya mengalami guncangan-guncangan hebat.

Tadinya, ketika dia mendengar puteranya memperkenalkan wanita yang cantik gagah ini sebagai calon isterinya dia girang, akan tetapi ketika mendengar bahwa wanita inilah murid dari adiknya yang murtad, dia terkejut dan bimbang.

“Seng-ji, apakah artinya semua ini?”

Akhirnya dia bertanya dengan suara gemetar dan biarpun pertanyaan ini diajukannya kepada puteranya, namun pandang matanya diarahkan kepada Sun Eng yang masih berlutut.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: