***

***

Ads

Minggu, 02 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 188

Sin Liong merasa bingung sekali. Perasaan hatinya terpecah menjadi dua, sebagian dia ingin mencari-cari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio, dan sebagian lagi dia ingin mencari Bi Cu.

Setelah dia mencegah terbunuhnya Kim Hong Liu-nio di tangan ayah kandungnya, yaitu Cia Bun Houw yang mendesak wanita iblis itu bersama isterinya, Sin Liong lalu pergi dan diam-diam mengikuti jejak Kim Hong Liu-nio. Hatinya merasa lega bahwa dia telah mencegah Kim Hong Liu-nio tewas di tangan ayah kandungnya dan ibu tirinya!

Pertama, berarti dia telah membalas budi Kim Hong Liu-nio ketika iblis betina itu menyelamatkan dia, Bi Cu, dan Tiong Pek pada waktu keluarga Na Ceng Han diserbu musuh. Ke dua, dia tidak ingin wanita iblis itu terbunuh orang lain kecuali oleh tangannya sendiri untuk membalas kematian ibu kandungnya. Dan ke tiga, dia telah berhasil memperlihatkan kepada ayah kandungnya dan isteri ayah kandungnya itu bahwa dia bukanlah seorang bocah yang lemah!

Akan tetapi, ketika dilihatnya jejak Kim Hong Liu-nio akhirnya menuju ke utara, dia dapat menduga bahwa iblis betina itu tentu kembali keluar tembok besar, maka dia. tidak melanjutkan pengejarannya. Dia harus menemukan dulu Bi Cu karena dia mengkhawatirkan keselamatan dara itu.

Bi Cu adalah seorang dara sebatang kara. Hidup sendirian tidak ada yang melindunginya. Maka dia tidak mungkin membiarkan Bi Cu hidup terlantar seperti itu. Kalau dia ingat akan semua yang telah dialaminya bersama Bi Cu, hatinya tidak tega dan tidak dapat membiarkan dara itu hanyut dibawa nasibnya sendiri. Tidak, dia harus dapat menemukan Bi Cu, dia harus melindungi dara itu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk melindungi dara itu. Maka, melihat Kim Hong Liu-nio ke utara, dia lalu kembali ke kota raja. Dia tidak akan ke utara lebih dulu kalau tidak bersama Bi Cu, karena bukankah dara itu hendak menyelidiki kematian ayahnya?

Akan tetapi dia tidak tahu kemana harus mencari Bi Cu. Setibanya di kota raja, Sin Liong lalu menghubungi para pengemis di pasar dan bertanya-tanya tentang Bi Cu yang terkenal dengan sebutan Kim-gan Yan-cu di antara mereka. Namun, para pengemis muda itu hanya menggeleng kepala dengan sikap duka. Mereka semua mencinta Kim-gan Yan-cu dan setelah pemimpin wanita ini tidak ada, kehidupan merekapun kocar-kacir dan cerai-berai, tidak ada lagi pengatur siasat yang pandai.

Karena tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang dara itu di kota raja, akhirnya Sin Liong lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke dusun Pek-jun. Dia hendak bertanya kalau-kalau Lan Lan atau Lin Lin atau siapa saja dari keluarga Kui itu mengetahui tentang Bi Cu. Selain itu, dia kini juga hendak secara langsung menegur Kui Hok Boan, dan kalau perlu memberi hajaran kepada orang yang hatinya kejam ini.

Sin Liong tiba di dusun itu di waktu senja. Dia sengaja menanti sampai malam tiba, baru dengan hati-hati dia menghampiri rumah yang nampak sunyi itu. Sungguh amat mengherankan hatinya, rumah itu sunyi bukan main dan biarpun malam sudah tiba, akan tetapi tidak nampak ada lampu penerangan di rumah itu. Apakah keluarga Kui sudah pindah, pikirnya.

Dia terus memasuki pekarangan dan akhirnya tiba di halaman rumah itu. Ah, ternyata rumah itu kosong. Tidak ada sepotong pun perabot rumah di halaman depan. Dia terus masuk karena pintu depan terbuka, akan tetapi di dalam yang gelap itupun kosong saja, tidak ada sepotongpun perabot rumah. Tentu sudah pindah. Dia terlambat datang.






Akan tetapi ketika Sin Liong hendak keluar, dia mendengar suara orang menangis di sebelah dalam rumah yang gelap kosong itu. Hampir Sin Liong lari, bulu tengkuk itu bangkit berdiri karena seremnya. Rumah kosong gelap dan ada suara orang menangis! Tentu setan, pikirnya.

Akan tetapi, penggemblengan dirinya semenjak kecil membuat Sin Liong seorang pemberani. Biarpun permainan pikiran yang membayangkan hal yang ngeri-ngeri dan bukan-bukan itu mendatangkan rasa takut, namun dia nekat memasuki rumah kosong itu, biarpun hatinya kebat-kebit, akan tetapi seluruh panca inderanya waspada dan siap menghadapi apapun juga. Berindap-indap dia menghampiri suara tangis itu dan ternyata suara itu datang dari sebuah kamar dan dari luar kamar itu sudah nampak cahaya penerangan kecil keluar dari kamar itu.

Bukan setan, pikirnya. Kalau setan apakah perlu membuat api penerangan? Bukan, bukan setan, melainkan manusia yang sedang dirundung susah hati. Dengan hati-hati Sin Liong mendekati pintu kamar itu.

“Huuu-hu-huuu... anak-anakku... anak-anakku... kalian dimana saja...? Hu-huuu, mengapa aku kalian tinggal sendirian?”

Orang itu menangis terguguk dengan amat menyedihkan. Tergerak hati Sin Liong oleh rasa iba dan dia sudah menyentuh daun pintu hendak membukanya, akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena suara menangis itu kini berubah sama sekali, menjadi tertawa terbahak-bahak!

“Ha-ha-ha-ha! Kalian hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, aku suka dia, dia manis cantik, hemmm... Tee Kang, kau hendak menghalangi aku? Ha-ha-ha, kau bosan hidup! Aku suka kepada Cui Hwa, dia manis, ha-ha-ha...! Aku memang suka wanita cantik, siapa perduli? Siang Li, kau janda manis dan pandai merayu... ha-ha, dan kaupun hebat sekali, Liong Si Kwi! Sayang tanganmu buntung, tapi kau memang pandai bercinta, ha-ha-ha! Eh, Bhe Coan, kau hendak menghalangi aku bermain cinta dengan isterimu? Ah, kau bosan hidup, harus kubunuh kau agar binimu dapat menemaniku setiap malam, ha-ha-ha...!”

Wajah Sin Liong berubah pucat mendengar ini semua. Hampir dia tidak percaya akan telinganya sendiri. Itulah suara Kui Hok Boan! Jelas, apalagi telah menyebut-nyebut nama ibunya segala. Dan nama Bhe Coan, ayah dari Bi Cu! Karena tidak percaya kepada telinganya sendiri, Sin Liong cepat membuka pintu untuk melihat dengan mata sendiri.

Dan apa yang dilihatnya membuat dia terbelalak seperti melihat setan! Di situ, di dalam kamar kosong itu, yang sama sekali tidak ada perabotnya, Kui Hok Boan duduk di atas lantai, di atas sehelai tikar butut dan pakaian orang inipun butut seperti pakaian pengemis, wajahnya kotor tak terpelihara, matanya liar dan merah, mata orang gila! Disudut kamar itu terdapat sebatang lilin bernyala.

“Paman Kui...!” Sin Liong berseru memanggil.

Kui Hok Boan yang sudah gila itu menengok, memandang kepadanya lalu tertawa lagi, tertawa bergelak, lalu berkata,

“Ha-ha, kau mau mengambil Lan Lan dan Lin Lin? Ha-ha, mereka telah menjadi kekasih-kekasih pangeran, dan aku menjadi mertua pangeran! Ha-ha, aku adalah mertua pangeran, dan kau harus berlutut menyembahku!”

Kui Hok Boan tertawa-tawa lagi dan Sin Liong memandang dengan muka pucat. Pamannya ini, suami mendiang ibu kandungnya, telah menjadi orang gila! Betapapun penasaran dan marahnya terhadap orang ini atas semua kecurangan dan kejahatannya, kini melihat dia menjadi orang gila dengan pakaian seperti jembel itu, terharu dan kasihan juga rasa hati Sin Liong.

“Paman Kui, ini aku, Sin Liong...!”

Orang yang sedang tertawa-tawa itu tiba-tiba memandang. Sin Liong melihat betapa sepasang mata yang liar itu kemerahan di bawah sinar api lilin, dan mulut yang menyeringai itu berbusa. Sungguh mengerikan keadaan orang ini, pikirnya.

“Sin Liong? Kau... kau setan cilik, engkau layak mampus!”

Tiba-tiba Kui Hok Boan menubruk seperti seekor harimau kelaparan dan gerakannya kacau-balau, caranya menyerang seperti binatang buas dan agaknya dia sudah lupa akan ilmu silatnya! Tentu saja Sin Liong tidak mau melayaninya, dengan mudah mengelak sehingga tubrukan orang gila itu mengenai dinding, membuatnya terguling dan kembali Kui Hok Boan menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri.

“Siong Bu... anakku... Siong Bu, kenapa kau mati meninggalkan aku? Siong Bu, anakku...! Beng Sin, engkau anakku, kenapa kau bunuh saudaramu sendiri...? Hu-hu-hu... kau minggat kemana, anakku? Lan Lan dan Lin Lin... kalau engkau sudah resmi menjadi permaisuri kelak, jangan lupa beri sebuah mahkota untukku, ha-ha-ha!”

Mendengar semua ini, diam-diam Sin Liong terkejut bukan main. Siong Bu mati? Dan Beng Sin yang membunuhnya? Tapi... kenapa pamannya ini menyebut mereka itu anak-anaknya? Dan Lan Lan berdua Lin Lin kemana?

“Paman Kui!” bentaknya keras. “Di mana Lan-moi dan Lin-moi?”

Dibentak keras begitu, Kui Hok Boan menjawab dengan cepat pula,
“Di mana lagi kalau tidak di kamar Ceng Han Houw? Ha-ha, mereka itu, anak-anakku yang cantik manis, pantas menjadi selir-selir pangeran...”

Sin Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia sudah berkelebat cepat meninggalkan rumah itu, kemudian dia langsung pergi menuju ke kota raja. Lan Lan dan Lin Lin tentu telah ditangkap oleh Ceng Han Houw, pikirnya. Entah bagaimana caranya karena dia tidak pernah mendengar tentang hal itu semenjak dia melarikan diri bersama Bi Cu. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Ceng Han Houw, dia harus menyelamatkan kedua orang adik tirinya itu dari malapetaka!

Dengan cepat karena dia mempergunakan gin-kangnya, Sin Liong menuju ke kota raja dan malam itu juga dia mengunjungi istana Pangeran Ceng Han Houw! Para perajurit pengawal tentu saja mengenal Sin Liong yang mereka tahu adalah adik angkat dari sang pangeran, saling pandang dengan bingung dan ragu melihat kunjungan yang dilakukan di waktu tengah malam ini!

Akan tetapi dengan sikap hormat mereka mempersilakan Sin Liong untuk menanti di ruangan tamu dan mereka lalu mengabarkan tentang kedatangan pemuda ini kepada pengawal yang bertugas di dalam.

Akan tetapi karena sang pangeran telah berada di dalam kamar dan mungkin sudah tidur, tidak ada seorangpun di antara para pengawal dan pelayan yang berani mengganggunya. Maka pengawal itu kembali keluar menemui Sin Liong dan mengatakan bahwa sang pangeran telah berada di dalam kamar dan tidak ada yang berani mengganggu untuk membangunkannya dan memberi laporan.

“Antarkan aku ke kamarnya, biar aku sendiri yang memberitahukan kedatanganku!” kata Sin Liong yang tidak ingin menunda lagi pertemuannya dengan kakak angkat itu.

“Akan tetapi... kongcu...”

“Sudahlah!” Sin Liong berseru tak sabar. “Aku mempunyai urusan yang penting sekali untuk disampaikan kepadanya! Biar aku yang membangunkannya dan kalau dia marah, akulah yang bertanggung jawab, bukan kalian!”

Melihat sikap ini, para pengawal merasa khawatir sekali, akan tetapi karena Sin Liong sudah berkata demikian dan mereka memang tahu bahwa pemuda ini adalah adik angkat sang pangeran, akhirnya mereka mengantarkan Sin Liong sampai ke depan kamar Ceng Han Houw.

Tanpa ragu-ragu, terdorong oleh panasnya hati dan kekhawatirannya akan nasib Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu terukir indah itu, disusul suaranya yang lantang karena dia mengerahkan khi-kang agar suaranya menembus ke dalam kamar di balik daun pintu itu,

“Houw-ko...! Ini aku Sin Liong datang menghadap dan ingin bicara denganmu Houw-ko...!”

Semua pengawal diam-diam gemetar ketakutan karena mereka menduga bahwa tentu sang pangeran akan menjadi marah sekali diganggu tidurnya seperti itu.

Akan tetapi tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam, seruan girang!
“Liong-te...!” Daun pintu segera terbuka dan muncullah sang pangeran dengan rambut kusut dan pakaian dalam setengah terbuka. Melihat para pengawal, pangeran itu segera menggerakkan tangan dan mengusir mereka pergi. “Liong-te, kau baru datang? Masuklah, masuklah saja!”

Sin Liong mengangguk dan memasuki pintu kamar itu. Dia melihat dua orang wanita cantik dengan pakaian dalam tidak karuan bangkit dan bergerak di balik kelambu tempat tidur. Sedetik jantungnya berdebar, akan tetapi setelah dia melihat bahwa mereka itu bukan Lan Lan dan Lin Lin, legalah rasa hatinya dan dia cepat membuang muka agar jangan melihat kulit putih membayang keluar dari pakaian dalam mereka itu.

“Kalian keluarlah...!” kata Han Houw dengan suara lembut dan mulut tersenyum.

Dua orang wanita muda itu cepat mengenakan pakaian dan keluar dari kamar itu meninggalkan bau harum semerbak yang keluar dari minyak wangi yang mereka pakai.

Setelah dua orang selir itu keluar dan daun pintu kamar itu tertutup lagi, Han Houw tertawa gembira dan dia mengamati Sin Liong dari kepala sampai ke kaki, seperti menaksir-naksir dengan pandang matanya.

“Ha-ha-ha, girang sekali bertemu dengan adikku yang gagah perkasa! Engkau memang hebat, adikku, dan setengah tahun yang lalu, memang pantaslah engkau disebut Pendekar Lembah Naga! Akan tetapi sekarang... ha-ha, sekarang ada aku disini, Liong-te! Dan akupun telah menerima petunjuk-petunjuk langsung dari suhu kita, yaitu Bu Beng Hud-couw sendiri! Aku telah mewarisi ilmu-ilmu yang malah lebih tinggi daripada ilmu silat yang pernah kau pelajari.”

Diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Dia sendiri, biarpun menguasai ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, namun dia mempelajari kitab-kitab itu hanya di bawah petunjuk Ouwyang Bu Sek, dan selamanya dia belum pernah bertemu dengan manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, bahkan dalam mimpipun belum pernah. Akan tetapi pangeran ini mengatakan menerima bimbingan langsung! Membualkah dia?

“Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Houw-ko!” katanya dengan wajar karena betapapun juga, dia merasa girang bahwa kakak angkatnya ini dapat mencapai apa yang telah diinginkannya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: