***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 208

Perlahan-lahan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengagumi dan memuji, dengan sikap manja yang amat menarik, disertai ciuman-ciuman hangat dan penyerahan diri penuh gairah, Sun Eng dapat “menuntun” Han Houw sehingga pangeran muda ini akhirnya menceritakan semua cita-citanya.

Dia ingin menjadi jago nomor satu di dunia bukan sekedar memuaskan hatinya melainkan mengandung niat yang lebih besar. Yaitu, setelah menjadi jago nomor satu, dia akan dapat menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw untuk berdiri di belakangnya! Dan diapun perlahan-lahan hendak menguasai para pimpinan bala tentara Kerajaan Beng-tiauw agar merekapun berdiri di belakangnya. Kemudian, dengan bantuan ayah tirinya, Raja Sabutai yang akan melakukan penyerbuan lagi ke selatan, dia yang sudah siap di sebelah dalam ini akan menjatuhkan kekuasaan Kaisar Ceng Hwa, yaitu saudara tirinya, dan merebut tahta kerajaan.

“Ha-ha-ha, kekasihku, akulah yang patut menjadi kaisar, bukan?”

Sun Eng merangkul manja.
“Tentu saja, pangeran. Di dunia ini tidak ada seorang pria lain manapun yang lebih pantas menjadi kaisar selain paduka.”

Han Houw tertawa dan mencium bibir yang setengah terbuka dan menantang itu.
“Dan engkau mungkin menjadi permaisuriku!”

“Ahhh... pangeran, mana hamba ada harga untuk itu...”

“Kau cukup berharga, atau setidaknya engkau akan menjadi permaisuri ke dua, ke tiga atau selir terkasih.”

“Ahhh, terima kasih, pangeran junjungan hamba...”

Demikianlah, dengan segala kepandaian yang ada padanya, Sun Eng membikin pangeran itu tergila-gila kepadanya dan mabuk rayuannya sehingga dia percaya benar dalam waktu kurang dari dua bulan saja.

Pada suatu senja, Pangeran Ceng Han Houw sedang mengaso di ruangan dekat taman. Dia duduk di atas sebuah kursi panjang yang dibuat amat indahnya, sebuah kursi rotan yang kepalanya merupakan kepala seekor ular raksasa. Dengan santai pangeran itu duduk dengan kedua kaki lurus di atas kursi panjang itu, tersenyum nikmat dikelilingi oleh para selirnya terkasih.

Sun Eng duduk paling dekat dengannya, bahkan Sun Eng inilah yang bertugas memijati tubuh pangeran itu. Sun Eng memijati atau lebih tepat disebut membelai paha pangeran itu. Ada pula selir yang mengipasi leher pangeran karena hawa senja hari itu agak panas. Seorang selir lain membawa buah-buahan segar, dan ada pula selir yang sedang melakukan tari sutera indah yang diiringi suara musik merdu yang dimainkan oleh beberapa orang selir lain dengan yang-kim dan suling. Para selir itu cantik-cantik dan muda-muda, akan tetapi agaknya memang Sun Eng yang menjadi selir terkasih saat itu.

Sun Eng nampak diam termenung. Memang hatinya sedang gelisah sekali setelah apa yang didengarnya dan dapat dikoreknya dari Pangeran Ceng Han Houw semalam, ketika dia melayani pangeran itu. Untung bahwa saat itu pangeran sedang lelah dan malas memperhatikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh sang pangeran betapa kekasihnya itu termenung.






Pangeran itu terlampau lelah karena setelah semalam dia hampir tidak tidur dan berenang dalam lautan permainan asmara bersama Sun Eng, pada siang hari tadi dia masih mengumbar nafsu berahinya dengan para selir lain.

Di dalam hati Sun Eng terjadi keraguan akan hasil daripada semua pengorbanannya. Dia mendengar dari pangeran ini bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai bukanlah kaisar atau pemerintah. Kaisar hanya terkena hasutan dari Kim Hong Liu-nio yang mendendam kepada keluarga Cin-ling-pai karena dua hal. Pertama karena keluarga itu adalah musuh besar subonya. Kedua karena Kim Hong Liu-nio merasa sakit hati atas kematian Panglima Lee Siang, dan justeru pembunuh dari panglima kekasih Kim Hong Liu-nio itu adalah Lie Seng!

Jadi bukan pangeran inilah yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai! Kalau demikian, percuma saja dia menghambakan diri kepada pangeran ini! Hampir dia putus asa, akan tetapi setidaknya dia mempergunakan pengaruhnya sebagai selir terkasih, mempergunakan pengaruh tangannya pula! Dia harus membongkar rahasia Pangeran Ceng Han Houw ini kepada kaisar! Akan tetapi bagaimana caranya dan mana buktinya? Tanpa bukti, tentu saja tidak mungkin hal itu dilakukan. Kaisar tentu akan jauh lebih mempercayai seorang adik tiri daripada seorang selir pangeran!

Pada saat itu, selagi Pangeran Ceng Han Houw hampir tertidur karena keenakan dibuai suara musik dan dipijati Sun Eng, dengan silirnya kebutan kipas, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada tamu dari utara yang hendak datang menghadap. Mendengar tamu dari utara, Pangeran Ceng Han Houw seketika bangkit dan wajahnya membayangkan kesungguhan dan penuh semangat, dan dengan berseri dia berkata,

“Suruh dia menanti di ruangan baca di dalam.”

Pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Ruangan baca merupakan ruangan di sebelah dalam yang menjadi kamar rahasia dari pangeran itu. Biasanya siapapun tidak boleh memasukinya. Kalau sekarang seorang tamu dipersilakan masuk ke dalam ruangan itu, maka mudah diduga bahwa tamu itu tentu seorang yang amat penting.

“Pangeran, bolehkah hamba ikut?” tiba-tiba Sun Eng berbisik.

Pangeran menoleh dan sudah siap untuk menolak dan menyuruhnya pergi, akan tetapi ketika dia melihat sinar mata lembut penuh cinta kasih itu, mata dan mulut yang membayangkan permohonan mendalam agar diperkenankan selalu di dekatnya, dia tersenyum, merangkul dan mencium bibir Sun Eng sampai lama, dipandang dengan rasa iri tersembunyi oleh para selir.

“Hanya engkau saja yang boleh, aku percaya kepadamu,” bisik pangeran itu yang segera menggandeng tangannya dan diajaklah selir terkasih ini ke dalam menuju ke kamar baca itu.

Tiga orang yang duduk di dalam kamar yang luas dan diterangi lampu-lampu besar itu segera bangkit berdiri dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu segera menggerakkan tangannya menyuruh mereka berdiri, lalu dia sendiri duduk di atas kursi kepala, menarik tangan Sun Eng dan menyuruh selir ini duduk di samping kirinya.

“Duduklah dan ceritakan hasil dari tugas-tugas kalian,” katanya tenang.

Tiga orang itu kelihatan ragu-ragu dan dengan alis berkerut mereka memandang kepada Sun Eng, agaknya merasa heran, bingung dan khawatir. Sang pangeran tersenyum ketika melihat sikap mereka itu. Sambil merangkul pundak selimya dia berkata,

“Jangan kalian meragu. Dia ini adalah selirku yang tercinta, orang yang paling kupercaya disini. Kalian boleh bicara tanpa ragu-ragu.”

Sun Eng menundukkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya karena dia merasa tegang bukan main saat itu. Dia tidak mengenal tiga orang ini dan tadi dia memandang penuh perhatian. Seorang diantara mereka adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam brewok -menyeramkan.

Dia tidak tahu bahwa orang ini adalah seorang tokoh selatan yang amat terkenal, karena dia adalah Hai-liong-ong Phang Tek, orang pertama dari Lam-hai Sam-lo yang amat ditakuti orang. Adapun orang kedua dan ketiga adalah orang asing, mungkin orang Mongol, dan pandang mata mereka itu tajam sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang cerdik.

Seorang diantara mereka, yang usianya kurang dari lima puluh tahun, setelah membungkuk-bungkuk dengan hormat lalu bicara singkat dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sun Eng kepada pangeran. Dan sang pangeran menjawab dalam bahasa itu pula, sambil tersenyum-senyum, agaknya menghibur dan menenangkan hati orang Mongol itu.

Orang kedua yang usianya enam puluh tahun membuat Sun Eng merasa tidak enak karena sinar mata orang kedua ini seolah-olah mampu menelanjanginya. Mata pria yang cabul.

“Nah, sam-wi, silakan sekarang membuat laporan. Selirku yang satu ini sama saja dengan isteriku, maka boleh dipercaya sepenuhnya.”

Kembali orang Mongol yang lebih tua itu bicara dalam bahasa Mongol, lalu menyerahkan sebuah kotak hitam. Sun Eng ingin sekali mengetahui, akan tetapi karena tidak mengerti bahasa mereka, dia termangu-mangu. Girang hatinya ketika dia melihat pangeran membuka peti itu dan mengeluarkan gulungan kertas yang merupakan surat dari Raja Sabutai kepada puteranya! Sang pangeran membaca surat itu lalu tertawa.

“Ha-ha-ha, ayahanda Raja Sabutai masih suka mempergunakan peraturan kuno, mengirim surat secara resmi! Syukur bahwa di utara telah diadakan persiapan. Nah, Phang-lo-enghiong, ketahuilah bahwa sekutu di utara sudah siap. Maka kita harus cepat mempersiapkan diri juga. Apakah engkau telah menghubungi fihak Pek-lian-kauw yang telah kutundukkan?”

Dengan sikap hormat, kakek tua yang tinggi besar itu mengangguk.
“Sudah, pangeran, Kim Hwa Cinjin sudah menyatakan bahwa seluruh Pek-lian-kauw sudah siap untuk membantu paduka.”

“Bagus! Kalau begitu tinggal menghimpun orang-orang kang-ouw, dan untuk itu perlu lebih dulu diadakan pertemuan besar untuk memperebutkan gelar jago nomor satu. Kalau aku dapat merebut gelar itu, tentu mudah untuk mempengaruhi mereka. Kau boleh atur pertemuan besar itu...”

“Baik, pangeran.”

Melihat selirnya yang tercinta kelihatan kesal karena agaknya tidak tertarik, Pangeran Ceng Han Houw lalu memegang lengannya dan berkata,

“Eng-moi, kau lebih baik pergi mengaso dulu. Eh, baiknya kotak ini kau bawa dan kau simpan dulu baik-baik di dalam kamarmu. Aku masih hendak mengadakan perundingan penting dengan para tamu ini dan engkau tidak perlu mendengarkan karena engkau tentu tidak tertarik.”

Sun Eng menyembunyikan debar jantungnya karena girang. Dia memberi hormat dengan sikap manis dan berkata,

“Baik, pangeran. Hamba akan menanti paduka dan mempersiapkan segala untuk menyenangkan paduka...”

Di dalam ucapan ini terkandung janji-janji yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Wajah pangeran itu berseri-seri akan tetapi dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lirih.

“Ah, agaknya malam ini kami akan berunding sampai jauh malam, mungkin sampai pagi. Kau mengasolah, Eng-moi, engkau perlu beristirahat setelah...” dia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya tersenyum dan Sun Eng berhasil memperlihatkan sikap tersipu-sipu.

Memang selama hampir dua bulan itu, hampir setiap malam sang pangeran berada di dalam kamarnya dan mereka itu seperti sepasang pengantin baru berbulan madu saja. Kembali dia memberi hormat, lalu mengundurkan diri membawa kotak hitam terukir indah itu.

Setelah tiba di dalam kamamya, cepat Sun Eng mengeluarkan alat tulis dan kertas kosong, lalu dengan cepat dia mengerahkan seluruh ingatannya untuk menyusun sebuah surat laporan kepada kaisar! Ditulisnya semua rahasia dari Pangeran Ceng Han Houw, betapa pangeran ini mengadakan persekutuan dengan Raja Sabutai dan dengan orang-orang kang-ouw, bahkan dengan Pek-lian-kauw untuk siap membantu apabila Raja Sabutai mengadakan serbuan!

Dan betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah oleh Kim Hong Liu-nio, diceritakarinya selengkapnya dalam pelaporan itu, tentang asal mula keluarga Cin-ling-pai kena fitnah. Semua ini didengarnya dari penuturan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah selesai membuat surat itu, Sun Eng berganti pakaian ringkas yang disimpannya secara sembunyi, kemudian dia meninggalkan gedung besar itu melalui jendela dan terus berloncatan di atas genteng. Berubahlah selir yang biasanya amat manja dan lemah lembut penuh daya tarik kewanitaan itu, kini berubah menjadi bayangan yang amat gesit dan ringan.

Selama menjadi selir terkasih Pangeran Ceng Han Houw, merayu pangeran itu dalam belaiannya Sun Eng telah pula mengenal nama-nama para pejabat tinggi yang dianggap musuh oleh sang pangeran, karena pejabat itu merupakan pembesar-pembesar yang amat setia kepada kaisar.

Oleh karena itu bayangan hitam yang berkelebatan di malam hari berlompatan di atas genteng-genteng itu kini menuju ke sebuah gedung besar, tempat tinggal dari Menteri Liang, seorang menteri tua yang terkenal amat setia kepada pemerintah. Akan tetapi karena kedudukannya hanya sebagai menteri bagian kebudayaan maka kejujuran dan keadilannya tidak dapat berbuat banyak terhadap para menteri durna yang lain. Kedudukannya tidak mengijinkan dia mencampuri urusan-urusan lain yang lebih penting dan lebih dekat dengan kaisar.

Para pengawal cepat mengepung Sun Eng ketika wanita ini tiba di pintu gerbang besar menteri itu,

“Saya bernama Sun Eng, dan saya mohon menghadap Liang-taijin karena ada urusan yang amat penting sekali. Urusan yang menyangkut keamanan negara.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: