***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 209

Mendengar ini, para pengawal itu segera melaporkan kepada Liang-taijin. Pembesar ini tidak pernah takut menghadapi apapun juga, maka mendengar betapa malam-malam begitu ada seorang wanita cantik yang diduga adalah seorang wanita kang-ouw ingin menghadap membawa berita penting, tentang keamanan negara, dia segera menyuruh para pengawal mengantar wanita itu ke ruang tamu. Tentu saja demi keamanan dirinya sendiri, dia memerintahkan para pengawal untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.

Dengan jantung berdebar Sun Eng lalu memasuki kamar tamu diiringkan oleh belasan orang pengawal yang memegang tombak. Setelah dia bertemu dengan pembesar tua yang berwibawa itu, dia cepat menjatuhkan diri berlutut.

“Hamba adalah seorang selir baru dari Pangeran Ceng Han Houw...”

“Ahhh...!” Menteri tua itu bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh selidik.

“Hamba sengaja menjadi selirnya hanya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Ceng Han Houw, dan inilah hasil penyelidikan hamba harap paduka sudi melaporkan kepada sri baginda kaisar untuk menyelamatkan kerajaan.”

Dengan singkat namun jelas Sun Eng lalu menceritakan kedatangan tamu dari utara yang membawa surat dari Raja Sabutai itu, dan menambahkan,

“Semua fitnah yang dijatuhkan kepada keluarga Cin-ling-pai telah hamba tulis dalam pelaporan. Sekarang hamba mohon diri sebelum hamba ditangkap oleh sang pangeran di tempat ini. Hamba harus cepat melarikan diri.”

Melihat wanita cantik itu memberikan sebuah bungkusan kain kuning, menteri itu tidak berani lancang menerima dan menyuruh seorang kepala pengawal menerimanya dan melihat wanita itu sudah bangkit dan hendak pergi, dia cepat bertanya.

“Nanti dulu, nona. Kami ingin mengetahui siapakah nona dan mengapa nona melakukan semua ini?”

“Hamba adalah seorang yang berhutang budi kepada keluarga Cin-ling-pai, maka hamba sengaja melakukan ini demi untuk menolong keluarga Cin-ling-pai. Selamat tinggal, taijin,”

Dan dengan mempergunakan gin-kangnya, Sun Eng sudah melompat dan lenyap dari tempat itu. Gerakannya sedemikian cepat dan gesitnya sehingga membuat menteri itu terkejut. Ketika para pengawalnya bergerak hendak mengejar dia memberi tanda dengan tangan mencegah mereka kemudian dia menyuruh pengawal membuka buntalan itu.

Di lain saat Liang-taijin telah memeriksa gulungan surat dalam kotak hitam dengan mata terbelalak seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang dilihat dan dibacanya. Jelaslah isi surat dalam bahasa Mongol itu bahwa Raja Sabutai mengatur rencana pemberontakan lagi dan kini dibantu oleh putera angkatnya yang sebetulnya putera dari mendiang Kaisar Ceng Tung, atau saudara tiri Kaisar Ceng Hwa yang sekarang!

Dengan jari tangan gemetar Liang-taijin lalu membaca semua pelaporan yang ditulis secara tergesa-gesa namun lengkap dan jelas oleh Sun Eng. Maka dia lalu menyimpan baik-baik semua benda itu dan memerintahkan para pengawal untuk melakukan penjagaan yang seketatnya dan diam-diam dia menyuruh panggil para pembesar lain yang sehaluan, yaitu para pembesar yang setia kepada kaisar dan yang diam-diam menentang semua sepak terjang Pangeran Ceng Han Houw dan Kim Hong Liu-nio yang selama ini bersikap sewenang-wenang, bahkan telah menyebabkan keluarga Cin-ling-pai yang sejak dahulu terkenal sebagai keluarga gagah yang dianggap pemberontak.






Malam itu juga para pembesar ini mengadakan perundingan dan memeriksa surat-surat itu. Akhirnya diambil keputusan untuk menyerahkan surat-surat itu kepada Pangeran Hung Chih, yaitu seorang pangeran kakak tiri dari kaisar sendiri yang terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan seolah-olah dialah yang menjadi penasihat dari kaisar.

Malam itu juga Pangeran Hung Chih menerima berita itu berikut bukti-buktinya, maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pangeran ini telah menghadap kaisar dan melaporkan segala yang didengarnya itu berikut bukti-buktinya, yaitu surat Raja Sabutai kepada Pangeran Ceng Han Houw, dan juga laporan yang ditulis oleh Sun Eng.

Kaisar terkejut bukin main, wajahnya berubah merah karena marah. Akan tetapi dengan bijaksana dia lalu memberi kekuasaan kepada Pangeran Hung Chih untuk menanggulangi persoalan itu degan pesan agar pangeran itu berhati-hati dalam menghadapi Ceng Han Houw, menggunakan kebijaksanaan agar tidak sampai terjadi perang saudara. Apalagi kalau diingat bahwa di samping Ceng Han Houw adalah seorang pangeran yang diakui oleh mendiang ayah mereka sendiri, juga Kim Hong Liu-nio, suci dari pangeran ini pernah berjasa terhadap mendiang Kaisar Ceng Tung.

“Akan tetapi, bagaimanapun juga, kepentingan kerajaan harus didahulukan dan mereka yang hendak memberontak, siapapun juga harus ditumpas secara halus maupun, kalau perlu kasar!”

Demikianlah Pangeran Hung Chih yang sudah memperoleh kekuasaan penuh secara tertulis dari kaisar sendiri, lalu membuat persiapan-persiapan dan mengatur rencana dan siasat untuk menghadapi Pangeran Ceng Han Houw secara halus.

Sun Eng merasa lega sekali setelah dia menyerahkan semua benda itu kepada Menteri Liang. Dia merasa yakin bahwa usahanya tentu akan berhasil baik. Menteri Liang tentu akan terkejut sekali dan pasti akan menyampaikan berita yang amat penting bagi keamanan kerajaan itu kepada kaisar. Tugasnya telah selesai dan dia telah melakukan sesuatu demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai. Bukan itu saja, bahkan dia telah berjasa untuk kerajaan!

Akan tetapi di samping perasaan bangga bahwa dia telah mampu mengangkat namanya, memberi isi kepada namanya sehingga dia tidak akan terlalu rendah dalam pandangan keluarga Cin-ling-pai, ada perasaan duka yang mendalam kalau dia teringat betapa untuk semua hasil itu, dia telah menyerahkan diri menjadi permainan Pangeran Ceng Han Houw! Setelah semua yang dilakukannya itu, apakah dia ada harga lagi untuk melanjutkan hubungannya dengan Lie Seng? Ah, rasanya untuk bertemu muka sajapun dia tidak sanggup lagi!

Mengingat hal ini Sun Eng tak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Dia merasa betapa dirinya kotor sekali, lebih kotor dan tidak berharga daripada sebelum dia membuat jasa terhadap keluarga Cin-ling-pai! Memang dia telah melakukan sesuatu untuk keluarga Cin-ling-pai atau lebih tepat untuk Lie Seng karena memang inilah tujuannya, akan tetapi cara yang dipergunakannya untuk mencapai tujuan itu membuat dia merasa semakin kotor!

Padahal, tujuannya adalah untuk membersihkan dirinya. Kini tujuan itu tercapai, akan tetapi dia tidak merasa bangga, tidak merasa bahagia, sebaliknya malah, tercapainya tujuan itu membuat dia merasa dirinya semakin kotor lagi daripada sebelumnya.

Tidaklah mengherankan keadaan Sun Eng ini. Apa yang dia lakukan semua itu menurut jalan pikirannya adalah pengorbanan untuk Lie Seng, untuk keluarga Cin-ling-pai. Padahal, pada hakekatnya, sama sekali tidaklah demikian. Pada dasarnya, semua yang dilakukannya itu timbul dari rasa iba diri, timbul dari rasa sayang diri, dan semua itu untuk menyenangkan hatinya sendiri.

Sebaliknya, dia melakukan itu dengan dasar agar dia dihargai, agar dia dikagumi, agar dia tidak dipandang rendah lagi karena penyelewengan yang pernah dilakukannya. Semua ini dilakukannya demi dirinya sendiri, yang oleh pikirannya sendiri “disulap” menjadi perbuatan “baik” demi orang lain. Bahkan jalan pikiran yang palsu membuat dia tadinya condong beranggapan bahwa pengorbanan yang dilakukannya adalah suci.

Karena pikirannya mendorong dia selalu memandang kepada tujuan saja, dan semua tujuan ini sudah pasti menuju kepada kesenangan diri pribadi, sungguhpun boleh saja mengenakan pakaian lain sehingga kelihatan seolah-olah demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain, maka mata menjadi buta tidak melihat lagi yang terpenting daripada segala gerakan hidup, yaitu tindakannya itu sendiri atau cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.

Tujuan membutakan mata terhadap cara. Tujuan bahkan kadang-kadang menghalalkan segala cara! Tujuan adalah nafsu keinginan memperoleh sesuatu. Dan kalau cara yang dipergunakan tidak benar, mana mungkin akhirnya benar? Tidak mungkin menanam rumput keluar padi! Tidak mungkin cara yang tidak benar menghasilkan sesuatu yang benar.

Hanya kalau batin tidak lagi dibutakan oleh tujuan yang pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginan memperoleh kesenangan, maka batin menjadi waspada akan segala tindakan, akan segala cara hidup yang ditempuhnya setiap saat. Dan kewaspadaan ini tentu melahirkan tindakan yang benar. Dan tindakan benar adalah tindakan wajar tanpa didorong oleh nafsu keinginan memperoleh hasil atau kesenangan atau keuntungan dari tindakan itu.

Akan tetapi Sun Eng terjebak oleh pikirannya sendiri. Tadinya dia menganggap bahwa dia telah berkorban diri demi orang lain demi orang yang dicintanya, dan dia buta untuk melihat bahwa pengorbanan yang dilakukannya itu, cara yang ditempuhnya itu adalah cara yang kotor bagi seorang wanita.

Dia hendak mencuci kotoran yang dianggapnya menempel pada dirinya dengan melumuri badan dengan kotoran lain! Tentu saja hal ini tidak mungkin. Dan akibatnya kini dia menyesal, kini dia meragu, kini dia merasa takut untuk bertemu dengan Lie Seng, walaupun dia telah “berjasa” terhadap Cin-ling-pai, bahkan terhadap kerajaan!

Dengan isak tertahan dan air mata masih bercucuran Sun Eng mendekati pintu gerbang untuk melarikan diri malam itu juga keluar kota raja. Dia terlalu memandang rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika di dekat pintu gerbang tiba-tiba muncul beberapa orang dari tempat gelap dan diantara mereka terdapat Pangeran Ceng Han Houw sendiri!

Seketika pucat wajah Sun Eng, apalagi karena dia mengenakan pakaian hitam, wajah yang putih halus itu kelihatan sepucat kapur matanya terbelalak dan mulutnya setengah ternganga tanpa dapat mengeluarkan kata-kata hanya memandang wajah tampan yang kini tersenyum dingin itu.

“Bukankah engkau ini Eng-moi? Ah, hampir aku tidak mengenalmu lagi, Eng-moi! Sejak kapan engkau berganti pakaian seperti ini berkeliaran di tengah malam dan gerakanmu demikian gesit?”

Tentu saja Sun Eng yang menjadi bingung dan gugup itu sejenak tak mam¬pu menjawab dan ketika akhirnya dia dapat menjawab, suaranya gemetar dan tergagap.

“Pangeran... hamba... hamba merasa sunyi dan... dan ingin berjalan-jalan mencari angin...” jawaban itu tentu saja sedapatnya karena pikirannya sudah mulai mencari jalan keluar maklum bahwa dia telah tersudut.

Dia melihat bahwa pangeran itu muncul bersama kakek tinggi besar dan belasan orang pengawal yang sudah mengepung tempat itu.

“Jalan-jalan makan angin...? Hemm, Eng-moi, mari kita pulang dan bicara baik-baik di rumah...!” Pangeran itu dengan senyum dingin menghampiri.

“Tidak... hamba... hamba ingin jalan-jalan dulu...!”

Karena takutnya Sun Eng bingung untuk menjawab dan dia sudah melangkah mundur, kemudian meloncat ke kiri untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek tinggi besar itu sudah berada di depannya. Sun Eng maklum bahwa tidak ada jalan lain baginya. Jalan halus sudah tidak mungkin dilakukannya, maka satu-satunya jalan hanyalah mencoba untuk meloloskan diri dengan kekerasan.

“Minggir!” bentaknya dan dia sudah menyerang kakek itu dengan pukulan dahsyat kearah dada lawan.

Sebagai murid dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, tentu saja wanita ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan pukulannya yang dilakukan dalam keadaan terjepit itu amat dahsyatnya.

Terkejut juga Pangeran Ceng Han Houw melihat pukulan itu, tak disangkanya bahwa selirnya yang terkasih ini memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya. Ngeri dia memikirkan betapa dia bermain cinta dengan seorang wanita selihai itu dan kalau wanita itu menghendaki, diwaktu dia tertidur nyenyak dalam pelukan wanita itu, tentu dapat dan mudah saja bagi wanita itu untuk membunuhnya!

Hai-liong-ong Phang Tek adalah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo, ilmu kepandaiannya tinggi sekali, masih jauh lebih tinggi daripada tingkat Sun Eng, maka menghadapi pukulan dahsyat itu dia tidak gentar. Karena kakek ini tadinya mengenal sang pangeran, maka biarpun kini timbul dugaan bahwa wanita ini menjadi pengkhianat, namun diapun masih belum berani lancang tangan melukai wanita yang menjadi selir terkasih junjungannya. Oleh karena itu, menghadapi serangan Sun Eng, dia hanya menangkis saja sambil mengerahkan tenaganya.

“Dukk!”

Sun Eng terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali. Ternyata kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat! Dia terhuyung dan sebelum dia dapat menguasai keseimbangan badannya, tiba-tiba lengannya telah ditangkap oleh Han Houw.

Sun Eng meronta, akan tetapi tidak mampu melepaskan lengan kanannya maka dia membalik dan dengan nekat dia menghantamkan tangan kirinya ke arah leher pangeran itu dengan maksud jelas membunuhnya kalau mungkin dengan sekali pukul. Oleh karena itu, pukulan itupun hebat sekali ditujukan ke arah jalan darah di leher dan dia mengerahkan seluruh tenaganya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: