***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 210

“Plakk!” Kembali pergelangan tangan kirinya kena ditangkap dengan mudah oleh pangeran itu.

“Hemm, engkau hendak membunuhku, ya?” bentak Han Houw dengan marah dan dia mengerahkan tenaga.

Pegangan pada kedua pergelangan lengan wanita itu menjadi kuat sekali dan Sun Eng merasa nyeri bukan main, sampai seperti menusuk jantung rasanya dan dia menyeringai. Agaknya melihat wajah yang biasanya amat manis memikat dan yang biasanya diciumi dan dibelai itu menyeringai kesakitan, Han Houw merasa kasihan juga dan dia mengendurkan pegangannya, kemudian sekali totok dia membuat Sun Eng lemas dan lumpuh. Digerayanginya seluruh tubuh Sun Eng untuk mencari kotak hitam akan tetapi ternyata Sun Eng tidak menyembunyikan apa-apa.

“Dimana kotak itu? Dimana surat itu?” desisnya marah.

“Hamba... hamba tidak tahu... hamba tinggalkan di dalam kamar...” Sun Eng menjawab sedapatnya saja.

Han Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi ditahannya dan dia hanya mendorong tubuh wanita itu. Sun Eng yang sudah tertotok lumpuh itu terguling roboh.

“Bawa dia!” bentak Han Houw dengan suara bernada kesal dan diapun lalu pergi diiringkan oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan para pengawal yang menggotong Sun Eng yang tidak dapat jalan sendiri itu.

Pada waktu itu, Sun Eng sudah tenang kembali. Kalau tadi dia menjadi gugup adalah karena dia sama sekali tidak mengira akan tertangkap secepat itu. Rasa kaget membuat dia gugup sekali.

Akan tetapi sekarang, setelah dia tahu benar bahwa tidak ada harapan baginya, dia malah menjadi tenang. Sebaiknya begini, pikirnya. Sebaiknya aku mati saja, akan tetapi dia akan mati penasaran kalau usahanya itu tidak berhasil, kalau Menteri Liang tidak melanjutkan pelaporannya kepada kaisar dan kalau kaisar tidak mengambil tindakan terhadap pangeran ini dan membebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan.

Setelah tiba di istana Pangeran Ceng Han Houw, Sun Eng dilempar ke atas dipan di dalam kamarnya. Han Houw lalu menyuruh semua orang keluar dan dia duduk di atas bangku di dekat dipan. Sampai lama dia memandang kepada wajah Sun Eng, kadang-kadang menarik napas panjang, kadang-kadang dia mengepal tinju dengan marah.

“Sun Eng, selama ini engkau tentu tahu betapa aku telah jatuh hati kepadamu, betapa aku menyayangmu. Tidak tahunya, semua sikapmu adalah palsu!” Dia mengepal tinju. “Sepatutnya kita tidak perlu banyak bicara lagi dan aku harus membunuhmu! Ketika engkau rebah dijalan dahulu itu, ternyata semua itu hanyalah siasatmu untuk dapat menyelundup kesini dan memperoleh kepercayaanku belaka! Sungguh aneh, engkau mengorbankan dirimu yang kau serahkan seluruhnya kepadaku, hanya untuk mengetahui rahasiaku dan mengkhianatiku! Wanita palsu, siapakah engkau sesungguhnya?” Han Houw membentak dan memandang tajam.

Sun Eng diam saja, terlentang dan menatap langit-langit kamar yang amat dikenalnya itu. Selama puluhan hari, kamar ini merupakan tempat dia bercumbu rayu dengan pangeran ini. Betapa seringnya dia membayangkan wajah Lie Seng di langit-langit itu ketika dia sedang melayani sang pangeran dalam permainan cintanya. Sekarangpun dia membayangkan wajah Lie Seng pada langit-langit putih itu.






“Baiklah, agaknya engkau bertekad untuk menutup mulut,” kata Ceng Han Houw. “Akan tetapi semua itupun tidak ada gunanya dan aku tidak perduli. Yang penting, hayo kau katakan dimana engkau menyembunyikan kotak surat itu. Kalau engkau menyerahkan benda itu kembali kepadaku, aku berjanji akan membebaskanmu, demi mengingat hubungan kita yang lalu dan mengingat betapa engkau sudah banyak mendatangkan kesenangan padaku.”

Akan tetapi Sun Eng tetap membisu bahkan menengokpun tidak kepada pangeran itu. Han Houw mengerutkan alisnya. Dia mengalami pukulan-pukulan batin yang cukup parah. Pengkhianatan Sun Eng ini, kenyataan bahwa wanita ini ternyata tidak mencintanya, melainkan hanya mempermainkannya, benar-benar merupakan pukulan bagi harga dirinya.

Dia tadinya mengira bahwa semua wanita tentu akan tergila-gila kepadanya dan dengan senang hati akan bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi, kalau dulu dia pernah merasa terpukul oleh penolakan gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, kini dia lebih terpukul lagi karena wanita ini bahkan hanya mempermainkannya untuk mengkhianatinya. Dia dianggap sebagai seorang pria hidung belang biasa saja yang lemah terhadap wanita!

Tiba-tiba pangeran itu merubah sikapnya. Dia menghampiri Sun Eng yang masih terlentang kemudian dia duduk di tepi pembaringan, lalu membungkuk sehingga wajahnya menyentuh wajah Sun Eng.

“Eng-moi... mungkinkah tidak ada sedikitpun perasaan cinta di hatimu terhadap aku? Mungkinkah engkau melupakan segala kemesraan yang terjadi diantara kita selama ini? Aku tahu benar, andaikata di lubuk hatimu tidak ada cinta kasih untukku, setidaknya engkau juga menikmati hubungan kita... engkau tak mungkin dapat menipuku dalam hal itu. Eng-moi... aku hanya menghendaki surat dalam kotak hitam itu kembali. Itu adalah surat ayahku, untukku...”

Suara pangeran itu merayu dan bibirnya menyentuh bibir Sun Eng, lalu diciuminya bibir wanita itu dengan penuh kemesraan seperti biasa dia mencium Sun Eng dan biasanya selalu wanita itu akan membalas dengan penuh perasaan dan gairah. Akan tetapi, sekali ini, mulut yang setengah terbuka itu diam saja, bibir itu tidak menjawab, dan mulut itu terasa dingin, sama sekali tidak ada gairah.

Akhirnya terdengar bibir itu berbisik,
“Bunuhlah aku... bunuhlah...”

“Engkau minta mati?” Suara sang pangeran masih lembut. “Akan kuturuti, engkau minta apapun minta mati, minta bebas atau minta tetap berada di sampingku, akan kuturuti asal engkau mau menyerahkan kembali surat itu. Dimanakan engkau menyimpannya?”

Akan tetapi Sun Eng menggeleng kepala keras-keras.
“Tidak akan kuberikan, biar aku dibunuh sekalipun!”

Wajah yang tampan itu kini berubah merah, sepasang matanya mencorong menyinarkan kemarahan.

“Perempuan rendah dan palsu! Agaknya setan neraka yang menyuruhmu memusuhi aku! Kalau begitu, biar kau rasakan siksa neraka lebih dulu, hendak kulihat apakah engkau tidak akan mengembalikan surat itu kepadaku!”

Setelah berkata demikian, Ceng Han Houw mengambil tali dan mengikat kedua lengan Sun Eng ke belakang tubuh. Karena marahnya, merasa dipermainkan dan dikhianati, juga karena cemasnya mengingat betapa surat rahasia yang amat berbahaya itu terjatuh ke tangan wanita ini yang tidak mau mengembalikannya, kini dia tidak halus lagi, melainkan dengan kasar dia mengikat kedua pergelangan tangan wanita itu ke belakang punggung dengan kuat. Kemudian dengan kasarnya pula direnggutnya kedua sepatu dari kaki Sun Eng sehingga kedua kaki yang kecil halus dan putih kemerahan itu menjadi telanjang.

Sun Eng tetap tenang saja, bahkan ketika pangeran itu membalikkan tububnya menelungkup kemudian membebaskan totokan pada tubuhnya sehingga dia mampu menggerakkan tubuhnya lagi dia tetap tenang dan tidak mau bergerak. Dia mendengar suara pangeran itu di belakangnya, tidak tahu apa yang sedang dilakukan. Akan tetapi nampak cahaya terang dan pangeran itu mendekatkan sebuah obor kecil yang sudah dinyalakan ke dekat muka Sun Eng.

“Sun Eng, kau lihat baik-baik apa yang kupegang ini? Aku tidak ingin bahkan merasa benci untuk menyiksamu, akan tetapi kalau tetap membandel dan tidak mau mengembalikan suratku itu terpaksa aku akan menyiksamu dan engkau tidak akan kuat bertahan kalau telapak kakimu kubakar dengan obor ini!”

Akan tetapi Sun Eng yang sudah mengerti bahwa dia tidak mungkin dapat lolos lagi itu sudah nekat.

“Bakarlah, siksalah, bunuhlah sesuka hatimu, jangan harap surat itu akan bisa kau dapatkan kembali!”

Suaranya penuh tantangan bahkan mengandung ejekan, karena hanya dengan mengejek dan menertawakan pangeran yang menjadi musuh besar Lie Seng dan keluarganya inilah yang dapat merupakan hiburan satu-satunya pada saat-saat terakhir dari hidupnya.

“Keparat!”

Ceng Han Houw membentak dan dia mulai menempelkan obor bernyala itu ke telapak kaki kanan Sun Eng.

Tubuh Sun Eng tersentak kaget, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, akan tetapi dia menahan jeritnya. Asap yang mengeluarkan bau kulit terbakar mengepul dan tak dapat dihindari lagi Sun Eng menggerak-gerakkan kaki kanannya yang menderita nyeri luar biasa itu.

“Masih belum mau mengaku?”

Pangeran itu menarik obornya. Akan tetapi rasa nyeri masih tidak berkurang, kiut-miut rasanya, menyusup ke bawah kulit dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepala. Keringat yang besar-besar keluar dari muka dan leher Sun Eng. Dia menggigit bibir dan menggeleng kepala, memukul-mukulkan kaki kanan ke atas pembaringan.

“Sun Eng, kalau kaki kirimu juga kubakar, engkau takkan dapat bertahan nyerinya. Bakaran ke dua lebih nyeri lagi maka sebaiknya engkau mengaku dan mengembalikan surat itu. Tidak akan ada faedahnya engkau berkeras kepala, pula surat itu tidak ada gunanya bagimu.”

Dalam menderita kesakitan hebat, Sun Eng masih mencari hiburan dengan memukul musuh Lie Seng yang menyiksanya ini dengan kata-kata,

“Bagiku tidak ada gunanya, akan tetapi bagi sri baginda kaisar berguna sekali!”

“Apa?” Wajah Han Houw menjadi pucat sekali. “Kau... kau tentu tidak akan memberikan surat itu kepada kaisar! Engkau akan mampus lebih dulu sebelum sempat menyerahkan surat itu kepada... eh, kepada siapa surat itu kau serahkan tadi? Hayo kau mengaku! Dimana surat itu?”

Suara pangeran itu gemetar dan diam-diam Sun Eng tersenyum. Pangeran itu ketakutan! Akan tetapi dia terpaksa menggigit bibirnya lagi karena kini pangeran itu menyentuh telapak kaki kirinya dengan api obor.

“Aaahhh...!”

Sun Eng kembali tersentak, kepalanya terangkat ke atas dan mulutnya terbuka karena dia tidak dapat menahan rasa nyeri yang luar biasa itu. Matanya terbelalak dan biarpun dia masih mampu menahan sehingga tidak sampai menjerit-jerit namun dari kerongkongannya keluar suara aneh, terengah-engah dan mukanya penuh dengan peluh yang memercik ke sana-sini karena kepalanya dan tubuhnya bergoyang-goyang. Bau kulit terbakar makin keras.

“Mengakulah! Siapa penerima surat itu?”

Han Houw menghardik dan orang yang merasa gelisah ketakutan ini menjadi makin bengis.

Akan tetapi Sun Eng hanya menggeleng-geleng kepalanya keras-keras. Rasa nyeri amat menusuk, dan setelah secara bergantian Han Houw menyentuh telapak kaki kanan dan kiri dengan api, Sun Eng tidak kuat bertahan dan terkulai pingsan.

Han Houw menghentikan penyiksaannya dan memadamkan obor, menghentak-hentakkan kedua kakinya dan berjalan hilir-mudik dalam kamar itu, kedua alisnya berkerut dan dia kelihatan bingung sekali. Lalu dia bertepuk tangan, memerintahkan pelayan yang muncul untuk memanggil para pembantunya.

Muncullah Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol yang masih berada disitu. Tiga orang itu memandang kepada tubuh Sun Eng yang rebah menelungkup dalam keadaan pingsan dan kedua telapak kakinya yang tadinya putih kemerahan itu kini hitam melepuh, lalu mereka kembali memandang kepada sang pangeran.

“Celaka...!” Ceng Han Houw mengeluh. “Perempuan rendah itu tidak mau mengaku, akan tetapi dia membayangkan bahwa surat itu hendak disampaikan kepada kaisar!”

“Ahhh...!” Tiga orang inipun menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan bingung.

“Saat ini tentu belum sampai ke tangan kaisar, tidak mungkin malam hari ada yang dapat menyampaikan surat itu kepada kaisar. Akan tetapi kalau sampai besok... ah, kita harus tahu dimana disembunyikan surat itu, atau kepada siapa surat itu diserahkan. Dia keras kepala, tidak mau mengaku...!” Han Houw menuding ke arah kedua kaki wanita itu. “Maka, kalian kupanggil untuk merundingkan urusan ini. Bagaimana baiknya?”

“Satu-satunya jalan, dia herus dipaksa untuk mengaku agar kita dapat bergerak malam ini juga dan mencegah surat itu terjatuh ke tangan kaisar!” kata orang Mongol yang lebih muda, yang berusia empat puluh tahun dan bermata tajam namun mengandung kelicikan dan juga wajahnya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang hitam dan lebat sekali, kasar seperti kawat-kawat baja.

Ada sesuatu pada sinar matanya yang membuat Hai-liong-ong sendiri bergidik. Orang ini kejam bukan main, pikir orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu, sungguhpun dia sendiri bukanlah orang yang baik atau tidak kejam.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: