***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 214

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut melihat kecerobohan Lie Seng, akan tetapi mereka berdua dapat mengerti betapa hancur hati Lie Seng menyaksikan kekasihnya diperlakukan seperti itu. Mereka sendiripun merasa kasihan sekali melihat bekas murid itu, dan merekapun ikut menyerbu, bahkan Bun Houw sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar emas karena itu adalah Hong-cu-kiam, pedangnya yang tipis dan biasanya digulung seperti sabuk pinggang.

Lie Seng mengamuk dahsyat. Begitu masuk, sekali bergerak dia telah membikin pecah kepala dua orang pengawal yang hanya sempat terbelalak saja kemudian roboh dengan kepala pecah terkena hantaman kedua tangan Lie Seng.

Yap In Hong menendang roboh dua orang pengawal dan cepat sekali Bun Houw menerjang orang Mongol yang kelihatan tangguh itu. Orang Mongol itu, Gaulanu, sudah meloncat berdiri dan menghunus goloknya, memutar golok dengan garang. Akan tetapi tiba-tiba ada sinar emas menyambar. Dia cepat menangkis dengan goloknya sambil menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut penyerangnya.

Bun Houw mengerahkan tenaganya ketika melihat golok itu menangkis pedangnya. Terdengar bunyi nyaring dan golok itu patah. Ketika tangan yang mencengkeram perutnya itu tiba, sinar emas menyambar dan lengan itu buntung sebatas siku!

Gaulanu mengeluarkan teriakan panjang akan tetapi Lie Seng sudah menubruknya dan menghantam dada orang ini dengan penuh kebencian karena tadi orang inilah yang mengeluarkan kata-kata menghina sekali kepada Sun Eng. Dia tahu atau dapat menduga bahwa agaknya orang ini yang memimpin para pengawal menghina Sun Eng,
maka pukulannya itu dilakukan dengan sekuat tenaga, menggunakan tenaga Thian-te
Sin-ciang, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

“Desss!”

Tubuh Gaulanu terjengkang, dari mulutnya menyemburkan darah segar dan diapun terbanting dan tewas dengan tulang-tulang iga patah-patah.

“Eng-moi...!”

Lie Seng sudah menubruk kekasihnya, melihat wajah yang matang biru itu, tubuh yang lunglai dan kain tilam yang berceceran darah. Dia lalu cepat menggulung tilam itu menutupi tubuh telanjang dari leher ke kaki, menggoyang-goyang pundak kekasihnya, memanggil-manggil namanya.

Akan tetapi Sun Eng baru saja dicekoki cairan biru beracun dan dia masih pingsan. Sementara itu, beberapa orang pengawal sudah berteriak-teriak, akan tetapi segera mereka dirobohkan oleh Yap In Hong dan Cia Bun Houw. Dalam waktu singkat, semua pengawal yang berada disitu, mereka yang tadi mempermainkan tubuh Sun Eng dan memperkosanya secara bergantian dan kasar tanpa mengenal kasihan sedikitpun juga, kini telah roboh malang melintang menjadi mayat!

“Lie Seng, cepat kita pergi dari sini! Dukung dia dan lari, kami lindungi!” kata Cia Bun Houw kepada keponakannya itu.

Lie Seng lalu memondong tubuh Sun Eng yang terbungkus kain tilam, lalu meloncatlah pemuda itu keluar kamar. Benar saja, teriakan-teriakan para pengawal sebelum tewas tadi telah mendatangkan pengawal-pengawal lain, akan tetapi sekali ada sinar emas berkelebat, tiga orang terdepan roboh dan yang lain menjadi terkejut sekali.






Apalagi karena mereka hanya melihat bayangan tiga orang yang tak dapat mereka lihat dengan jelas, karena selain tiga orang itu memadamkan semua lampu yang ada dengan pukulan-pukulan jarak jauh, juga gerakan mereka seperti terbang cepatnya, sukar diikuti pandangan mata. Dengan beberapa lompatan saja, tiga orang yang melarikan tawartan itu sudah menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Kejar...!”

“Pukul tanda bahaya!”

Sebagian daripada mereka melakukan pengejaran, dan ada pula yang memukul tanda bahaya, dan keadaan di dalam istana itu menjadi kacau dan hiruk-pikuk. Pangeran Ceng Han Houw yang sedang tidur pulas kelelahan setelah menghibur diri dan hatinya yang kecewa itu dengan para selirnya, terbangun dan cepat dia berpakaian lalu berlari keluar. Dia bertemu dengan Hai-liong-ong dan orang Mongol tua.

“Celaka, ada yang melarikan tawanan dan semua penjaganya dibunuh!” kata Hai-liong-ong yang segera ikut melakukan pengejaran, menyusul para pengawal yang sudah lebih dulu mengejar.

Akan tetapi dia hanya dapat menyusul para pengawal dan bayangan tiga orang itu sudah lenyap dan tidak lagi diketahui ke arah mana mereka itu lari.

Tentu saja Pangeran Ceng Han Houw menjadi marah sekali dan dia memerintahkan para pengawalnya untuk terus mencari ke seluruh kota raja. Dia merasa dipermainkan sungguh. Dia, yang menganggap diri sendiri paling pandai, paling lihai, kini didatangi tiga orang yang telah membunuhi para pengawalnya dan melarikan tawanan tanpa dia dapat mencegahnya, bahkan mengetahui siapa merekapun tidak karena tidak ada seorangpun di antara para pengawalnya yang berhasil melihat tiga orang yang mereka katakan bergerak seperti setan itu!

Tentu saja lenyapnya Sun Eng itu membuat dia khawatir sekali karena surat dari Raja Sabutai itu belum dapat diketahui berada dimana. Akan tetapi hatinya agak terhibur kalau dia teringat bahwa wanita itu telah dicekoki racun dan dalam waktu tiga hari akan mati.

Sementara itu, dengan menggunakan ilmu kepandaian mereka, tidak berapa sukar bagi tiga orang pendekar sakti itu untuk lolos dari kota raja membawa Sun Eng yang masih belum sadar juga. Akhirnya, menjelang pagi, mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua di luar kota, di tepi sebuah hutan di sebelah selatan kota raja.

Setelah memeriksa keadaan Sun Eng, diam-diam Yap In Hong mengutuk di dalam hatinya. Sebagai seorang wanita, dia lebih dapat mengetahui apa yang telah dialami oleh Sun Eng, dia dapat menduga dan membayangkannya dan dia bergidik membayangkan kekejaman yang melampaui batas itu.

Lie Seng terlalu berduka untuk dapat mengerti benar apa yang telah terjadi pada diri kekasihnya, sungguhpun dia dapat menduga bahwa Sun Eng tentu telah mengalami penyiksaan luar biasa dan bukan tidak mungkin mengalami perkosaan.

Yap In Hong membersihkan tubuh Sun Eng, lalu pergi mencari pakaian pada penduduk
dusun di sebelah selatan hutan, kemudian mereka bertiga lalu mempergunakan tenaga sakti mereka untuk mengobati luka-luka dalam tubuh Sun Eng dan akhirnya wanita itu mengeluh siuman.

Begitu siuman, Sun Eng mengeluarkan rintihan seperti orang menangis. Semua orang menjadi terharu melihat dan mendengar ini, bahkan Lie Seng lalu merangkulnya dan ikut menangis.

“Eng-moi... ah, Eng-moi... mengapa kau lakukan semua ini...?” Dia meratap di dekat telinga kekasihnya.

Mendengar suara ini, sepasang mata itu bergerak perlahan, lalu terbuka. Sejenak mata itu kosong karena kesadarannya masih belum sepenuhnya, akan tetapi perlahan-lahan melirik ke sana-sini sampai akhirnya pandang mata itu berhenti pada wajah Lie Seng yang berada di atasnya. Kemudian, seperti digerakkan oleh sesuatu, sepasang mata yang agak membengkak dan kebiruan bekas pukulan itu terbelalak, bibir itu bergerak-gerak, akan tetapi agaknya sukar mengeluarkan suara, kemudian sepasang mata itu menjadi basah dan butiran-butiran air mata berjatuhan keluar! Sun Eng telah mengenali Lie Seng.

“Eng-moi...! Kau telah selamat...!” Lie Seng berbisik penuh keharuan dan kasih sayang mendalam.

“Lie Seng koko... kau... kau...”

“Aku berada di sini, Eng-moi, dan kau dan aku tidak akan berpisah lagi!” kata pula Lie Seng dengan suara gemetar.

“Koko...!”

Kini Sun Eng yang teringat akan segala yang telah dialaminya, dan melihat bahwa dia belum mati dan bahkan bertemu dengan Lie Seng dalam keadaan seperti sekarang ini, menjerit dengan jantung rasanya seperti disayat-sayat!

Lie Seng merangkulnya, mendekapnya, menghiburnya, akan tetapi Sun Eng menangis
terisak-isak.

“Sun Eng, sudahlah, kuatkan hatimu. Betapapun juga, semua itu telah berlalu dan sekarang engkau sudah aman bersama kami...”

Yap In Hong yang keras hati itupun tak dapat menahan runtuhnya air matanya dan dia memegang tangan bekas muridnya itu. Teringat dia betapa sejak kecil Sun Eng ikut dengan dia dan betapa sudah sering dia tertawa gembira oleh kelincahan anak itu.

Sun Eng menahan isaknya, dan dengan muka basah dia menoleh ke arah, subonya, kemudian memandang wajah suhunya.

“Subo... suhu... mengapa subo dan suhu... mau pula... menyelamatkan aku...?”

Bun Houw menelan ludah sebelum menjawab karena dia melihat isterinya tidak mampu
menjawab pertanyaan itu.

“Mengapa, Sun Eng?” Dia mencoba tersenyum. “Ingat, engkau adalah murid kami, bukan? Dan engkau adalah isteri Lie Seng keponakanku. Tentu saja kami datang menolongmu dari tangan orang-orang jahat itu.”

“Suhu... subo... tidak benci kepadaku... dan menyetujui perjodohan antara aku dan koko Lie Seng...?”

“Sudahlah, Sun Eng, lupakan hal-hal yang telah lalu. Kami tahu sekarang betapa engkau seorang anak baik dan saling mencinta dengan Lie Seng. Tentu saja kami menyetujui...” kata Yap In Hong.

“Dan kami tidak membencinya, Sun Eng.”

Sun Eng terisak, lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya.
“Akan tetapi... tiada gunanya... tiada gunanya...”

“Apa maksudmu, Eng-moi? Percayalah, ibu sendiri tidak akan menghalangi kita menikah! Aku tanggung...”

Akan tetapi Sun Eng menangis semakin mengguguk dan Yap In Hong memberi isyarat
kepada Lie Seng untuk membiarkan dulu wanita itu, biar menangis untuk menuangkan
semua perasaannya dan tidak boleh diajak bicara tentang perjodohan yang ternyata amat menyinggung perasaannya itu.

Memang benar sekali pendapat In Hong ini. Setelah dia dibiarkan menangis mengguguk beberapa lamanya, akhirnya tangisnya mereda dan dia mulai merintih karena seluruh tubuhnya terasa nyeri-nyeri, terutama sekali kedua kakinya yang luka-luka bekas kebakar.

Yap In Hong sudah mulai memberi obat luka kebakar, dicampur minyak dan ditutupkan pada luka-luka itu lalu dibalut. Obat itu amat manjur, karena rasa nyeri itu segera tertutup oleh rasa dingin yang melegakan hati.

“Subo, terima kasih...” kata Sun Eng lirih sambil memandang subonya yang dahulu dianggapnya seperti ibu sendiri.

In Hong tersenyum, teringat betapa dahulu di waktu masih kecilnya sering sekali Sun Eng mengucapkan kata-kata itu. Ah, betapa buta manusia kalau sedang dipengaruhi oleh amarah dan kebencian. Segala kebaikan orang yang sudah ribuan kali dilakukan akan lenyap begitu saja oleh satu perbuatan yang menyusahkan. Kini, setelah tiada lagi benci dalam hati In Hong, baru nampak olehnya betapa sesungguhnya selama menjadi muridnya, Sun Eng amat baik kepadanya!

Memang demikian! Mengapa kita begitu terbiasa sejak kecil untuk menyimpan segala hal yang terjadi di masa lalu? Mengapa kita selalu mengingat-ingat perbuatan orang lain yang merugjkan kita sehingga menimbulkan kebencian? Mengapa kita tidak mau menghapus semua itu, semua ingatan tentang hal-hal yang terjadi di masa lalu, menguburnya dan tidak pernah membongkarnya lagi, melainkan menujukan seluruh pandang mata kita, seluruh hati dan pikiran kita, seluruh keadaan diri kita lahir batin kepada apa yang terjadi SAAT INI saja?

Mengapa kehidupan kita saat demi saat begitu tergantung kepada apa yang telah terjadi di masa lalu, yang mempengaruhi setiap gerak-gerik kita, setiap sikap kita terhadap orang lain? Mengapa kita menilai setiap orang lain dari perbuatan-perbuatannya yang lalu? Apakah keadaan manusia itu dapat ditentukan dari satu kali perbuatannya di masa lalu? Mengapa ada benci di dalam hati kita? Mengapa kita mengotori diri sendiri dengan segala macam kebencian, permusuhan, iri hati dan sebagainya itu? Mengapa kita tidak mau mendobrak dan memberontak terhadap semua ikatan masa lalu itu dan hidup BARU saat demi saat? Semua pertanyaan ini kiranya teramat penting untuk kita renungkan dan ajukan kepada diri sendiri!

Melihat betapa keadaan kekasihnya sudah agak normal kembali, Lie Seng lalu menyiapkan bubur yang tadi telah dimasak oleh In Hong, sesuap demi sesuap ke mulut kekasihnya. Sun Eng menerimanya seperti anak kecil, dengan pandang mata tak lepas dari wajah kekasihnya, dengan mata yang masih berlinang air mata, akan tetapi dia tidak terisak lagi. Setelah Sun Eng selesai makan, dan Lie Seng bersama paman dan bibinya juga sudah makan pagi, barulah Lie Seng berkata,

“Eng-moi, maukah engkau sekarang menceritakan segalanya kepadaku?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: