***

***

Ads

Rabu, 19 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 233

“Itu kan alasannya! Betapapun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita ikut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!”

Sin Liong menggelengkan kepala.
“Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali...”

“Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... eh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di depanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!”

Sin Liong menggeleng kepala.
“Apa dayaku menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, Lembah Naga ini sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang menjadi tempatku bermain-main ketika aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apalagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan maksud memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau.” Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan,

“Biarpun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi membantu untuk melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw dan melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan.”

Dua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Setiap pemberontakan, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu.

Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak. Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksud tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan sama sekali melupakan atau sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakan mereka itu.

Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan
cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankan segala semboyan dan anjuran tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya?






Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tidak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan selain mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih, bahkan dia mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri, wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!

Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan rasa tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran!

Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke manapun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja sendirian. Kalau dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

Betapapun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan
dan menunjukkan tempat-tempat dimana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan dimana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar. Dia bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekorpun monyet yang mengenalnya.

Padahal dahulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tidak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buah pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang amat sunyi itu, kadang-kadang membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu.

Dia sudah mengajak Bi Cu beberapa kali mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana dan di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayatnya tentang ibunya yang buntung sebelah tangannya, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir karena hubungan antara ibu kandungku dan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biarpun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap...”

Bi Cu merangkul dan mencium muka yang muram itu.
“Sin Liong, engkau anak terang anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak perduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!”

Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali. Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu diapun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Diapun ingin sekali tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw. Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. Dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu!

Dan diapun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu ataupun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya!
Terhadap Bi Cu, apapun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Kalau tidak, diapun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu kepadanya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak memperdulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya.

Senja telah mendatang dan biarpun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu.

Biasanya, disitu tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Dia tadipun ketika pergi menuju ke makam ibunya, masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau
yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya.

Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikitpun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbul kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang malam secara bergilir, penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembag Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu, tidak terjaga? Kemana perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu?

Sebagai seorang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.

Sin Liong dengan gerakan ringan sekali lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia meneliti ke bawah, untuk melihat kemana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba, dia menahan seruan heran melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas? Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu.

Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua!

Ada musuh menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai sajalah yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.

Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya dua orang itu sedang menanti malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Keduanya sedang duduk di atas rumput, bersila, dan agaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar.

Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya!

Sin Liong mengenal bahaya, maka diapun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak,

“Robohlah!”

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan sungguhpun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Duk! Aihhhh...!”

Wanita itu agak terhuyung dan mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.

Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: