***

***

Ads

Jumat, 21 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 245

Diam-diam Bun Houw juga mendongkol sekali mendengar ini, akan tetapi karena pangeran itu adalah tuan rumah, maka tentu saja dia berhak untuk bicara kepada semua tamunya bahkan berhak untuk mengeluarkan peraturan. Maka diapun diam saja. Dia yakin bahwa di antara para orang gagah dari golongan bersih tidak akan ada seorangpun yang sudi untuk memperebutkan julukan yang sombong itu dan tidak akan ada yang mau menentangnya karena mereka semua melihat bahwa dia maju untuk menentang pangeran pemberontak itu.

Maka, dia hanya ingin tahu tokoh golongan hitam yang mana yang akan maju. Dia akan menghadapi mereka semua, karena memang tugasnya bersama keluarga Cin-ling-pai ini membantu Pangeran Hung Chih untuk menumpas persekutuan hitam yang akan memberontak terhadap pemerintah di bawah pimpinan pangeran muda ini.

Akan tetapi, ternyata dari golongan hitampun tidak ada yang berani maju! Setelah mereka semua tadi menyaksikan betapa Cia Bun Houw mampu merobohkan dua orang dari Lam-hai Sam-lo, para tokoh hitam menjadi gentar sekali dan tidak ada seorangpun yang berani lancang, maju menghadapi pendekar Cin-ling-pai yang selain sudah terkenal sekali kelihaiannya itupun bahkan sudah mereka saksikan sendiri betapa hebat sepak terjangnya ketika mengalahkan Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong tadi.

Maka mereka ingin sekali melihat sang pangeran itu sendiri yang menghadapi pendekar Cia Bun Houw. Mereka tahu bahwa pangeran muda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan telah mengalahkan banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan, telah berani menantang tokoh-tokoh Siaw-lim-pai malah! Maka, menurut pendapat mereka, hanya pangeran itulah yang patut untuk menghadapi pendekar Cin-ling-pai itu.

“Pangeran saja yang maju!” tiba-tiba terdengar seruan seorang di antara mereka.

Seruan ini seperti menyinggung semua perasaan para tamu golongan hitam maka bisinglah tempat itu dan semua orang menyatakan agar pangeran yang mau menandingi pendekar Cin-ling-pal itu! Selain mereka menganggap bahwa pangeran muda ini lawannya, juga mereka semua ingin menyaksikan pertandingan yang tentu akan berlangsung amat hebatnya itu.

Diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa kecewa. Kenapa tidak ada jagoan lagi yang berani maju? Apakah orang-orang yang akan dihimpunnya dan dijadikan pembantu-pembantunya itu hanya terdiri dari orang-orang yang begitu penakut? Melihat ini, Hai-liong-ong Phang Tek lalu berkata,

“Harap paduka pangeran sendiri yang maju menghadapi Cia-taihiap karena agaknya tidak ada lagi yang sanggup.”

Memang kakek inipun ingin melihat sang pangeran merobohkan pendekar yang telah membikin dia dan adiknya kewalahan dan mendapatkan malu itu dan dia yang telah tahu akan kelihaian pangeran, merasa yakin bahwa pangeran muda itu akan sanggup merobohkan lawan tangguh ini.

Ceng Han Houw tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas sehingga suara bising itupun berhenti. Kemudian terdengar suaranya lantang dan halus,

“Pendekar Cia Bun Houw adalah paman dari isteriku, maka bagaimanapun juga kami masih terhitung keluarga dekat dan tentu saja tidak sepatutnya kalau aku sebagai mantu keponakan maju melawannya. Akan tetapi, seperti kita semua ketahui, dalam ilmu silat tidak harus memandang hubungan apapun, dan untuk menentukan siapa yang lebih lihai tidak ada jalan lain kecuali mengadu kepandaian silat. Dan sudah jelas bahwa Cia-taihiap merupakan calon tunggal, maka biarlah saya akan melayaninya untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul. Tentu saja saya mengharapkan kelonggaran hati Cia-taihiap dengan memandang muka isteriku!” Kalimat terakhir ini ditujukan kepada Cia Bun Houw.






Bun Houw memandang tajam, lalu berkata,
“Kalau engkau berhasrat untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, nah, majulah pangeran. Aku ingin mengukur sampai di mana kelihaian jagoan nomor satu di dunia!”

Dua orang itu telah saling berhadapan dan siap untuk saling serang. Semua mata tertuju ke arah mereka dan semua hati merasa tegang karena mereka semua maklum bahwa sekali ini tentu akan terjadi pertandingan yang amat seru dan hebat. Bahkan Yap In Hong yang baru saja datang dan duduk di kursinya kini memandang dengan jantung berdebar tegang, lalu berbisik-bisik dengan kakaknya, Yap Kun Liong untuk mengatur siasat yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Bagaimanapun juga, Yap In Hong tidak menganggap pertandingan itu sebagai pibu, maka diapun siap membantu suaminya andaikata suaminya terancam bahaya.

Juga Sin Liong yang sudah tiba di luar ruangan itu bersama Bi Cu, menyelinap di antara penonton, di bagian paling belakang sehingga tidak nampak jelas dari dalam, sambil memegang tangan Bi Cu mereka berdua nonton dengan hati tegang pula. Tidak ada seorang pun memperhatikan pemuda dan dara yang baru datang ini, karena semua orang mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang pria yang saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago dalam medan laga.

Pangeran yang mengenakan pakaian indah, dengan mantel dan topi bulu itu nampak gagah dan tampan sekali, bulu burung yang menghias topinya berwarna merah biru dan kuning emas. Senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya dan dia sedikitpun tidak memperlihatkan wajah gentar, berseri-seri dan sikapnya menunjukkan bahwa dia percaya penuh akan keunggulannya.

Pendekar Cia Bun Houw yang berdiri di depannya merupakan seorang laki-laki gagah yang berpakaian dan bersikap sederhana dan keren, sepasang matanya tajam penuh wibawa dan dia menanti serangan lawan dengan tenang.

“Pangeran...!”

Ketegangan itu melunak dan Pangeran Ceng Han Houw menoleh, memandang kepada isterinya yang tadi memanggilnya dengan suara halus dan menggetar. Dilihatnya wanita cantik itu memandang kepadanya dan sepasang mata yang indah itu agak kemerahan dan basah.

“Pangeran, ingatlah bahwa dia adalah pamanku...” kata Ciauw Si, hatinya merasa bingung dan tegang sekali.

Wanita ini tahu benar betapa lihainya suaminya. Dia telah menguji sendiri kehebatan suaminya itu dan dia bahkan mempunyai keyakinan bahwa pamannya itu sekalipun tidak akan dapat mengalahkan Pangeran Ceng Han Houw, maka kekhawatirannya tertuju kepada pamannya sehingga dia merasa perlu untuk mengingatkan suaminya yang berarti minta suaminya agar jangan menurunkan tangan keras kepada adik ibunya itu.

Ceng Han Houw tersenyum bangga. Perkataan isterinya itu, walaupun diucapkan perlahan, namun karena suasana sedang tegang dan amat sunyi, ucapan itu terdengar oleh semua orang dan ucapan isterinya itu saja sudah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas pendekar sakti yang akan menjadi lawannya. Isterinya minta agar dia berlaku murah kepada pendekar itu, berarti bahwa isterinya menyatakan kepada semua orang bahwa dia lebih unggul daripada pendekar Cin-ling-pai itu!

“Jangan khawatir isteriku, ini hanya sebuah pibu, bukan perkelahian, tentu saja aku tidak akan berani kurang ajar dan menyakiti paman sendiri!” jawab Ceng Han Houw sambil tersenyum lebar.

Bukan main panas rasa hati Bun Houw mendengar ucapan pangeran itu. Dia merasa direndahkan, dipandang ringan sekali di depan para tokoh kang-ouw.

“Pangeran, luka atau mati sudah jamak terjadi dalam pibu. Nah, kau sambutlah ini!”

Karena tidak ingin membiarkan pangeran itu berlagak lebih lanjut, Bun Houw sudah mengirim serangan dengan pukulan tangan kiri yang ditamparkan ke arah leher lawan, tamparan yang kelihatannya sembarangan dan ringan saja akan tetapi sesungguhnya tamparan itu merupakan serangan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh.

“Harap Cia-taihiap jangan bersikap sungkan lagi,” kata sang pangeran yang menghadapi serangan itu masih sempat bicara, sambil mengelak dengan amat mudahnya, seolah-olah dengan ucapannya itu dia menegur pendekar Cin-ling-pai itu bahwa serangannya terlalu lemah dan terlalu sungkan!

Tentu saja Cia Bun Houw dapat merasakan sindiran ini dan diapun lalu mulai menggerakkan tubuhnya dengan cepat, mengerahkan sin-kang di kedua tangannya dan pendekar inipun menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini bukan sekadar omong kosong atau sombong belaka, melainkan sungguh-sungguh memiliki kepandaian yang tinggi, maka begitu bergerak, Bun Houw sudah menggunakan jurus-jurus Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang ampuh itu, dan kedua lengannya mengandung tenaga dari Ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat dan kuat.

Setiap gerakannya mendatangkan angin pukulan yang amat mantep sehingga setiap kali dielakkan lawan, jari-jari tangannya seolah-olah tergetar ketika pukulan ditahan, seperti ujung pedang saja!

Gembira sekali rasa hati Han Houw. Inilah yang selalu dinanti-nantikannya. Yaitu menandingi seorang pendekar yang sudah mencapai puncak ketenarannya, dan kemudian mengalahkannya! Kemenangan seperti ini akan jauh lebih menyenangkan dan nikmat daripada melawan tokoh-tokoh biasa saja. Dan kalau saja dia dapat mengalahkan pendekar dari Cin-ling-pai ini di depan penyaksian demikian banyaknya orang kang-ouw, sekali ini namanya tentu akan meningkat tinggi dan dia selain berhak memakai gelar Thian-he Te-it Tai-hiap (Pendekar Sakti Nomor Satu di Kolong Langit), juga dengan sendirinya dia akan menduduki kursi Bengcu (Pemimpin Rakyat) dan akan mudah menghimpun dan mengerahkan tenaga orang-orang dunia kang-ouw untuk niatnya menentang kaisar!

Dialah yang patut menjadi kaisar, bukan Kaisar Ceng Hwa yang sekarang, bukan pula Pangeran Hung Chih. Dialah yang paling tepat menjadi kaisar! Dan dia merasa yakin akan dapat mengalahkan pendekar Cin-ling-pai ini, sungguhpun dia maklum bahwa untuk itu dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Dua orang pria yang berilmu tinggi itu kini bertanding dengan seru. Mata semua tamu ditujukan untuk mengikuti pertandingan itu, dengan pandang mata penuh ketegangan dan kekaguman dan hampir tak pernah ada yang berkedip, seolah-olah merasa sayang untuk melewatkan sedikit gerakan tanpa mereka ikuti dengan seksama.

Memang hebat sekali mereka itu. Setiap pukulan mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang ampuh, dapat menghancurkan batu karang. Namun, setiap serangan dapat dihindarkan masing-masing dengan indah pula, kalau tidak mengelak dengan gerakan cepat dan tepat, tentu ditangkisnya dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu, semua orang dapat merasakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Suara “dukk!” yang keras dari bertemunya dua lengan itu seolah-olah menggetarkan sekeliling tempat itu, dan seolah-olah terasa oleh mereka yang menonton sehingga makin lama suasana menjadi semakin menegangkan, apalagi karena nampaknya kedua fihak sama kuatnya dan setiap kali mereka beradu tenaga, keduanya tergetar namun dapat saling mempertahankan sehingga tidak sampai terhuyung.

Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dimainkan oleh kaki tangan Bun Houw adalah ilmu yang amat tinggi dan memiliki dasar yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh Bun Houw tanpa kesalahan sedikitpun dan didorong pula oleh tenaga sin-kang dari Thian-te Sin-ciang, maka amatlah sukarnya menandingi gerakan Bun Houw seperti itu.

Ceng Han Houw, biarpun masih muda, maklum akan lihainya lawan, maka biarpun sikapnya seperti memandang ringan, dan senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, akan tetapi sebetulnya dia berhati-hati sekali dan dia menggerakkan tubuhnya dan bersilat dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menaklukkan Naga), yaitu satu di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw.

Akan tetapi, untuk menghadapi langkah-langkah dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang amat indah dan ampuh itu, diapun harus mempergunakan langkah-langkah Pat-kwa-po yang juga amat rapi sehingga dia mampu menghindarkan diri dari setiap kurungan yang diciptakan oleh desakan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Bahkan pangeran ini mampu pula untuk membalas sehingga mereka berdua bertanding dengan amat rapi dan serunya, masing-masing tidak mau mengalah.

Biarpun mereka berdua tidak memperlihatkan kemarahan atau mengeluarkan seruan-seruan yang mengejutkan, namun, dari gerakan mereka berdua, para tokoh kang-ouw yang menjadi penonton itu maklum bahwa kedua orang itu tidak lagi melakukan pibu biasa sekedar untuk mengukur kepandaian masing-masing, melainkan berkelahi dengan amat hebatnya, setiap serangan merupakan tangan maut yang haus darah, dan setiap jurus yang dipergunakan telah diperhitungkan masak-masak sehingga merupakan jurus yang ampuh.

Diam-diam Yap In Hong dan Yap Kun Liong, dua orang pendekar yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali, tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Cia Bun Houw, menjadi terkejut bukan main menyaksikan kelihaian pangeran itu. Beberapa kali pendekar sakti Yap Kun Liong memuji dalam hatinya melihat betapa pangeran itu dapat menghadapi desakan-desakan yang amat berbahaya dari adik iparnya itu. Apalagi ilmu langkah sakti Pat-kwa-po yang dimainkan oleh pangeran itu, sehingga langkah-langkah kakinya teratur rapi dan dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri terhadap setiap desakan, mengingatkan dia akan ilmunya sendiri, yaitu Pat-hong Sin-kun yang langkah-langkahnya juga berdasarkan rahasia Pat-kwa (Delapan Segi). Diam-diam dia harus mengakui bahwa menghadapi pangeran itu bukanlah hal yang ringan, dan dia sendiri pun tidak berani memastikan bahwa dia akan menang kalau menghadapi pangeran muda yang telah menjadi suami dari anak tirinya itu.

Yap In Hong juga merasa khawatir, karena diapun dapat merasakan bahwa menghadapi pangeran itu, dia sendiri tidak akan mampu menang, dan suaminya agaknya tentu harus menggunakan seluruh kepandaian dan waktu yang tidak singkat untuk dapat mengatasi pangeran yang biarpun masih muda namun sudah amat hebat itu. Teringatlah dia akan Sin Liong dan dia membandingkan pangeran ini dengan Sin Liong. Diam-diam dia merasa heran dan kagum bagaimana orang-orang yang masih muda itu telah memiliki kepandaian sehebat itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: